Jumat, 26 September 2008

Kenapa Ya

Kenapa ya kok bahasa Inggris dijadiin sebagai bahasa Internasional? Kenapa gak bahasa Arab atau bahasa Indonesia aja?

Kenapa ya kok mata uang Dolar dijadiin sebagai mata uang perdagangan Internasional? Kenapa gak Dinar, Dirham atau Rupiah aja?

Kenapa ya kok sebagian besar universitas2 terbaik di dunia adanya di Barat? Kenapa gak di Timur Tengah atau di Indonesia aja?

Kenapa ya kok dunia perfilman isinya orang Barat semua? Kenapa bukan orang Timur Tengah atau orang Indonesia?

Kenapa ya kok gampang banget tokoh2 Barat mengorbitkan namanya hingga ke seluruh penjuru dunia? Kenapa tokoh2 Indonesia gak bisa kaya gitu?

Kenapa ya dunia fashion kok berkiblatnya ke Barat? Kenapa gak berkiblat ke Timur Tengah atau ke Indonesia aja?

Kenapa ya orang2 kita kok banyak yang ngelanjutin kuliahnya di Barat? Kenapa gak di Timur Tengah atau di Indonesia sendiri aja?

Kenapa ya banyak orang2 kita yang merasa bangga bisa kerja di perusahaan2 asing? Kenapa gak di perusahaan2 nasional aja?

Kenapa ya kok teknologi2 maju berkembangnya dari Barat? Kenapa gak dari Indonesia aja?

Kenapa ya pemilihan presiden Amerika jadi headline di seluruh dunia? Kenapa ketika pemilu Indonesia beritanya gak mendapat tempat di media internasional?

Kenapa ya kok sampe hari ini kita masih BELOM JUGA SADAR kalo kita sedang DIBODOHI dengan KAPITALISME AMERIKA?

Kenapa ya kok kita merasa NYAMAN dengan KEBODOHAN kita ini?

Hmmm… Ada yang bisa menjawab pertanyaan2 di atas? Meskipun ada yang bisa menjawabnya, tapi bukan itu yang aku butuhkan. Aku butuh niat, kesungguhan, aksi dan langkah nyata dari kita semua untuk MENOLAK semua kebodohan di atas. BERANI?



C-Kink

Rabu, 24 September 2008

Rasionalisasi Elpiji

Kebijakan pemerintah menaikkan harga gas elpiji secara bertahap hingga mendekati harga pasar dunia, yang mencapai Rp. 12.000/kg, menjadi pro kontra pada setiap lapisan masyarakat. Sebagai awalan, pemerintah menaikkan harga gas elpiji 12kg sebesar 9, 5%, dari Rp. 5.250/kg menjadi Rp. 5.750/kg. Sedangkan untuk gas elpiji 50kg dinaikkan dari Rp. 6.878/kg menjadi 7.255/kg. Pertamina menyatakan akan menaikkan harga elpiji kemasan 12kg secara bertahap sebesar Rp.500/bulan. Kenaikkan ini berdampak langsung pada seluruh masyarakat. Kenaikkan harga tidak bisa dielakkan lagi. Inflasi pun kembali melambung, dinama Inflasi tahun berjalan(Januari-Agustus) sudah mencapai level 9,2%. Angka yang sangat mengkhawatirkan, mengingat bulan september-oktober terdapat momentum bulan Ramadhan dan lebaran, dimana kenaikkan harga adalah kepastian saat 2 momentum tersebut berlangsung

Kebijakan pertamina menaikkan elpiji dinilai aneh oleh sebagian masyarakat, karena dinaikkan bertepatan dengan momentum bulan puasa. Ditakutkan, kenaikkan elpiji akan “memperumit” kondisi pasar, yang terjadi kenaikkan harga karena memasuki bulan puasa.

Jika kita melihat dari logika ekonomi, maka Inflasi terjadi karena terdapat scarcity(kelangkaan) dalam pasar. Kelangkaan ini bisa disebabkan oleh 2 hal, pertama Cost push, kedua Demand Pull. Kedua hal tersebut merupakan penyebab mendasar dari Inflasi. Cost push Inflation adalah kenaikkan harga yang disebabkan oleh semakin besarnya tekanan biaya, hal ini biasa terjadi apabila ada kenaikkan suku bunga perbankan, kenaikkan pajak, ataupun inefisiensi produksi. Demand pull Inflation adalah kenaikkan harga yang disebabkan oleh besarnya permintaan dalam masyarakat. Untuk kasus kenaikkan elpiji, saya rasa kedua faktor tersebut terjadi secara bersamaan. Saat ini terjadi over demand terhadap elpiji. Hal ini terjadi akibat dilakukannya program konversi minyak tanah ke elpiji yang dilakukan pemerintahan setahun yang lalu. Dengan adanya program konversi, pola konsumsi masyarakat beralih dari minyak tanah ke gas. Sehingga sangat wajar apabila permintaan terhadap elpiji(khususnya elpiji 3 kg). Cost push inflation sangat mungkin terjadi, mengingat masih inefisiennya kinerja dari pertamina, baik dalam pengelolaan usaha di hulu maupun hilir.

Memandang permasalahan inflasi, maka kita dapat melihat dari 3 aspek utama, yaitu, produksi, konsumsi, dan distribusi. Seperti yang sudah diuraikan diatas,pertamina memiliki masalah mendasar dalam proses produksi. Inefisiensi dalam proses prosuksi pertamina, seharusnya dapat diperbaiki. Sehingga pertamina dapat memproduksi dengan biaya yang minim. Karena perlu dingat, pertamina sebagai BUMN yang mengampu fungsi PSO(Public Service Obligation) seharusnya dapat fokus pada cost produksi yang rendah.

Konsumsi masyarakat terhadap elpiji memang mencapai level yang cukup memuaskan, hal ini dapat menjadi sinyal positif bagi program konversi energi. Tapi sangat disayangkan apabila demand yang besar ini tidak diikuti denga supply yang besar pula.

Permasalahan terakhir yang patut dikritisi adalah proses distibusi. Ketika terjadi kenaikkan harga elpiji 12kg beberapa hari yang lalu, harga-harga elpiji diseluruh Indonesia turut bergejolak. Tapi anehnya, walaupun pertamina menetapkan standart harga, tapi tetap saja harga jual tiap daerah berbeda. Harga jual eceran elpiji 12 kg antara Rp. 75.000 sampai Rp. 200.000. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa terdapat daerah-daerah yang mengalami kelangkaan elpiji. Ini merupakan indikasi tidak meratanya distribusi elpiji yang dilakukan pertamina. Banyak toko yang kehabisan stok tabung gas, dan ini berdampak pada tidak terpenuhinya kebutuhan konsumen. Selain itu, gap harga yang terlalu besar menimbulkan indikasi adanya penimbunan elpiji di daerah-daerah tertentu. Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk mulai melakukan pemberantasan terhadap spekulator yang melakukan penimbunan tersebut.

Poltical will dari pemerintah untuk menstabilkan harga elpiji mutlak diperlukan. Konsumen butuh kepastian atas harga-harga. Kita seharusnya mencontoh kebijakan yang dilakukan pemerintah china dalam membangun imperiumnya, yaitu menstabilkan inflasi, sehingga iklim usaha dapat terjamin kelangsungannya. Ketidakstabilan harga sepertin ini seharusnya dapat segera diselesaikan, jangan samapi rakyat miskin terus menjadi korban atas kesalahan kebijakan pemerintah.

Problematika Energi Nasional, Permasalahan dalam Menyongsong Kemandirian Energi

Memandang berbagai problemm kehidupan Indonesia saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa pokok perhatian yang mendpat sorotan paling luas adalah sektor energi. Ada beberapa alasan yang cukup mendasar, hingga permasalahan energi menjadiperhatian luas seluruh warga Indonesia, pertama, energi, dalam berbagai macam bentuknya, minyak, gas, batu bara, listrik, semuanya adalah unsur primer dalam menggerakkan kehidupan manusia modern baik secara produktif maupun konsumtif. Kedua, krisis energi yang sekarang melanda Indonesia akhir-akhir ini secara vulgar telah mengancam kehidupan ekonomi masyarakt luas yang secara praktis mengganggu produktivitas serta aktivitas harian yang menyandarkan diri kepada energi sebagai poros dasarnya. Ketiga, bentuk-bentuk energi seperti BBM,gas dan listrik, memegang fungsi ganda sebagai input antara sekaligus permintaan akhir, yang mengandung pengertian, memiliki implikasi langsung kepada sektor industri sekaligus masyarakat luas. Industri, baik skala kecil, menengah maupun besar akan memasukkan permintaan terhadap sumber-sumber energi sebagai bagian dari variabel biaya tetap, yang akan selalu digunakan, karena tanpanya, maka proses produksi bisa terhambat, atau malah sama sekali tidak berjalan. Masyarakat luas, sebaliknya meski tidak secara absolut tergantung pada sumber-sumber energi tersebut, mau tidak mau harus menggunakan sumber energi untuk menjalankan akitivitas produktifnya (seperti pergi bekerja, sekolah, kuliah, dsb.), juga untuk memenuhi kebutuhan konsumtif.

Daripada itu, masyarakat seakan-akan selal disuguhkan pemandangan yang nyaris tidak pernah berubah dari tahun ke tahun, harga BBM selalu naik dengan berbagai alasan, yang disusul oleh berbagai efek domino yang bersifat jangka panjang, dan kali ini tampaknya akan permanen. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak tinggi, sementara konsumsi masyarakat diharuskan (oleh keadaan) dalam tingkatan yang cukup besar pula (akibat tahun ajaran baru, dll.). Tetapi pada tahun 2008, krisis energi benar-benar menarik efek domino yang sangat kompleks dan menambah penderitaan rakyat. Harga gas elpiji 12 kilogram naik 23 persen dari 51 ribu rupiah menjadi 63 ribu rupiah per tanggal 1 Juli 2008, dengan alasan bahwa disparitas harga domestik dengan pasar internasional telah mencapai 173 persen. Padahal, pemerintah melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla, dengan gencar semenjak tahun lalu mensosialisasikan program konversi minyak tanah ke gas elpiji, dengan membagi-bagi secara gratis kompor beserta gas elpiji 3 kilogram kepada masyarakat, dengan target, tahun 2009, saat program konversi selesai, subsidi negara untuk minyak tanah tinggal 10 triliun rupiah. Inkonsistensi kebijakan yang cenderung setengah-setengah ini terbaca pula dalam berbagai masalah energi lainnya. Tanggal 23 Mei 2008, pemerintah menaikkan harga BBM, rata-rata sebesar 28,7%, seperti premium dari 4.500 rupiah menjadi 6000 rupiah, karena harga minyak dunia yang telah menyentuh 120 US$ perbarelnya. Padahal indikasi tentang naikknya harga minya dunia telah tercium sejak akhir tahun lalu, dan pemerintah berjanji akan mengatasi masalah naiknya harga minyak dunia dengan berbagai paket kebijakan seperti penerapan smart card, yang akan membatasi kendaraan pribadi untuk mengonsumsi BBM bersubsidi. Pada akhirnya kebijakan yang dipilih pemerintah sangat konvensional, menaikkan harga BBM, sementara langkan yang lebih penting, terutama dalam mengantisipasi harga minya dunia yang terus melonjak tajam, yaitu dengan mengurangi konsumsi sekaligus menaikkan lifting minyak Indonesia , justru tidak berjalan maksimal. Sekarang, rencana penerapan smart card, malah sudah kehilangan gaungnya, berganti dengan huru-hara dari seorang lelaki yang mengaku bisa mengubah air menjadi minyak, dengan teknologi yang katanya dibimbing dari kitab suci, yang kemudian akrab disebut Blue Energy, dengan skeptisisme besar dari masyarakat terhadap proyek ini. Sementara kebijakan yang lebih realisitis, serta lebih mudah diimplementasikan, yaitu penerapan pajak progresif bagi kendaraan pribadi, akhirnya dapat disetujui setelah dua tahun lebih mondok di gedung parlemen di Senayan, kebijakan yang lebih konkret seperti ini, laiyak untuk diproritaskan ketimbang mengharap pada teknologi yang tidak jelas asal muasalnya. Sedangkan masalah energi terakhir, yang terutama sedang hangat dibicarakan, adalah krisis listrik, yang ditandai dengan seringnya dilakukan pemadaman oleh PLN, sebagai satu-satunya perusahaan yang mengurusi masalah listrik nasional. Argumen yang diajukan lagi-lagi klasik, apologia yang diulang-ulang dari jaman Orde Baru hingga sekarang, kendala cuaca buruk hingga pasokan bahan bakar terlambat, pembangkit sedang dalam perbaikan, adalah alasan-alasan yang selalu kita dengar kalau pemadaman marak terjadi. Tapi,fakta menarik, adalah yang menjadi pokok permasalahan kurangnya pasokan listrik dari PLN, yang ditandai dengan reserved margin berada dibawah ambang batas aman, yaitu 30-40%. Dengan daya cadangan yang sangat rendah itu, maka kebijakan pemadaman akan terus berlangsung, minimal sampai pembangkit baru di Labuan, Banten dan Indramayu, Jawa Barat dapat beroperasi tahun 2009. Masalah ini diperparah dengan harga batu bara, sebagai bahan bakar pembangkit yang paling diandalkan setelah harga minya dunia melonjak tajam, ikut-ikutan menanjak tajam. Harga patokan yang dipatok PLN sebesar 80US$ per ton, sudah sama sekali tidak mendapat respon dari para supplyer yang mengajukan harga minimal 100US$ per tonnya. Harga yang tinggi di pasaran internasional, menjadi ironis tatkala perusahaan-perusahaan seperti Bumi Resources, Medco, Aneka Tambang, Adaro, Indika Energy, menangguk untung gila-gilaan, akibat tingginya harga komoditas arang hitam tersebut, sementara industri dipaksa untuk mengalihkan proses produksinya, dan rakyat harus gigit jari karena pemadaman listrik terus saja terjadi. Kondisi di Indonesia yang begitu suram akibat krisis energi, seperti pepatah “hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri”, tatkala negara-negara lain yang juga memiliki persediaan sumber daya alam yangberbasis energi mampu menangguk untung besar dengan tingginya harga komoditas ini, sehingga mampu menyejahterakan rakyatnya dan membebaskan dari kemiskinan, Indonesia yang juga sangat kaya seperti para pecandu narkoba, masih energetis, produktif fisiknya, tapi sudah tidak mampu lagi untuk memberikan manfaat baik untuk dirinya, maupun kepada sekitarnya. Masalahnya, sampai kapan rakyat bisa bersabar menghadapi kinerja dari sektor energi yang pas-pasan, sementara alasannya selalu seolah-olah aksidental, tidak sengaja, tidak dapat diintervensi, sehingga rakyat hanya disuruh selalu bersabar, dan diimbau untuk bijak dengan berhemat? Sementara, jumlah warga miskin justru semakin meningkat (meski kata BPS turun), inflasi melejit, pengangguran bertambah banyak, dan tanda-tanda munculnya resesi mulai dapat dilihat dari jauh, sementara Pemilu 2009 tengah menjelang.

Karena itu, muara dari berbagai masalah energi yang menimpa Indonesia saat ini dapat dianalisis sebagai akumulasi dari rendahnya upaya preventif pemerintah menghadapi resiko resesi ekonomi global. Ditengah situasi yang serba penuh turbulensi dan kekhawatiran, gejala kegagapan pemerintah menghadapi berbagai situasi yang serba tidak pasti haruslah dijadikan pengalaman berharga agar tidak sampai terulang lagi di masa mendatang. Saat harga minyak dunia telah melonjak tinggi, harusnya kita langsung tersadar bahwa pembangkit listrik yang menggunakan solar sebagai sumber tenaga lmendapat perhatian khusus dengan menempatkannya sebagai pembangkit dengan prioritas yang rendah dalam porsi sumber listrik primer Republik ini, sementara yang berbahan bakar gas alam, batu bara, dan lainnnya, mendapatkan kepastian dengan menjamin pasokannya serta harga yang sesuai dengan kemampuan cashflow BUMN yang terkait, karena masalah urgen yang dihadapi BUMN seperti PLN saat ini adalah kekurangannya dalam aliran cash flow untuk dapat membeli berbagai komoditas sumber energi yang harganya melonjak tajam. Dalam perspektif lebih jauh, perlu dipetakan masalah dan solusinya, menjadi solusi jangka pendek dan solusi jangka panjang. Yang jangka pendek perlu lebih ditekankan pada upaya-upaya kuratif temporal untuk mencegah situasi lebih buruk terjadi dengan keadaan yang serba mengkhawatirkan kalangan industri maupun rakyat luas akibat seringnya terjadi pemadaman. Opsi untuk menaikkan harga jual listrik adalah salahsatu pilihan yang dapat diajukan, mengingat biaya produksi yang mencapai 1.303,87 rupiah, sementara harga jual berkisar 630 rupiah per KwH, padahal jika menggunakan genset sendiri, biaya per KwH mencapai 3000 rupiah, sehingga wajar saja kalau kalangan industri mendadak beralih memakai listrik PLN karena margin yang demikian besar antara biaya produksi yang telah melonjak 41% dibanding tahun lalu, sementara harga jual tidak mengalami kenaikan. Pada awal tahun, sebenarnya telah terlontar wacana untuk mengadakan skema insentif dan disinsentif oleh PLN untuk membudayakan perilaku hemat listrik dalam berbagai lapisan masyarakat, khususnya rumah tangga, yang pada tahun 2007 konsumsinya tumbuh 7,3% sementara sektor industri hanya menikmati pertumbuhan 4,7%, hingga berakibat konsumsi sektor rumah tangga mencapai 46.950 GwH, untuk pertama kalinya dalam 3 tahun terakhir melampaui konsumsi sektor industri yang hanya mengonsumsi 45.432 GwH. Menjadi ironis kala kita mendengar berita seringnya terjadi pemadaman justru terjadi didaerah-daerah pembangkit listrik berada, sementara pusat konsumsi di Pulau Jawa relatif tidak begitu sering mengalami pemadaman tersebut. Sehingga tidak heran SKB 5 menteri yang baru saja diterbitkan (lagi-lagi), terlihat sebagai upaya pemerintah menginjak satu kaki para pengusaha agar dipaksa berhemat, sementara untuk menerapkan kebijakan serupa bagi sektor kelompok rumahtangga, masih terlihat gamang, sementara banyak daerah yang masih mengalami pemadaman, hingga tampaknya pemerintah perlu memberi argumen yang sangat kuat untuk meyakinkan rakyat bahwa kita sedang mengalami krisis energi yang membahayakan kondisi bangsa. Kebijakan menaikkan harga tentu dimaksudkan agar PLN memiliki dana yang cukup untuk menjalankan sektor operasionalnya, serta mencegah terjadinya pemadaman, bukan sebagai ajang mencari margin keuntungan. Untuk solusi jangka panjang, maka pembangunan pembangkit baru adalah jawaban logis yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah serupa terulang dimasa mendatang. Serta, pembangunan pembangkit dengan sumber energi alternatif perlu semakin sering didorong. Alasannya tentu adalah sumber daya yang kita pakai bersifat non-terbarukan, sehingga potensi terjadinya kelangkaan akan sangat mengganggu ketahanan energi. Memberdayakan sumber energi terbarukan, harus menjadi agenda utama negeri di masa mendatang, mengingat besarnya potensi yang dimiliki oleh Indonesia di bidang ini. Memang perlu keseriusan serta itikad bersungguh-sungguh, supaya di masa mendatang skema energi alternatif dapat menjadi cadangan kala sumber energi utama mengalami kenaikan harga ataupun menderita kelangkaan, sehingga masalah tersebut dapat diantisipasi. Sejujurnya, penulis sangat khawatir kalau masalah krisis energi ini terjadi pada komoditas BBM, dimana terjadi gejala kelangkaan dimana di suatu daerah seluruh SPBUnya kosong karena berbagai alasan, entah terlambatnya pasokan ataupun alasan apapun. Dapat dibayangkan para pemilik kendaraan bermotor yang tidak dapat pergi bekerja, bersekolah, berjualan ataupun kuliah, akan naik pitam. Pengemudi kendaraan umum tidak dapat beroperasi mencari penumpang, hingga setoran tidak ada, dan keluarganya tidak bisa makan. Para pedagang gorengan, angkringan atau yang lain tidak bisa berjualan karena tidak ada suplai untuk memproduksi barang konsumsi. Kehidupan masyarakat akan mengalami perlambatan perlahan-lahan sebelum akhirnya mati total. BBM hanya muncul di pasar gelap dengan harga sangat tinggi, yang hanya sanggup dibeli oleh orang-orang kaya. Melihat realitas itu, rakyat mayoritas yang daya belinya lemah, marah dan menyerang mobil-mobil serta rumah orang kaya. Orang kaya tidak tinggal diam, dengan kekuatan uangnya mereka menyewa preman untuk mengatasi kemarahan rakyat banyak. Bentrokan tidak terhindarkan, kerusuhan pun merebak, huru-hara terjadi dimana-mana, keadaan serba mencekam dan penuh ketidakpastian. Jika sudah seperti itu, maka masalah energi bisa bergeser menjadi masalah sosial sekaligus masalah politis yang kompleks dan tendensius. Sementara 2009 menjelang, siapapun yang berhasil mengatasi masalah ini akan mendapat legitimasi publik, dan otoritas untuk mengontrol negara secara mutlak. Jika pemerintahnya sipil yang ikut mengalami penderitaan mungkin tidak masalah, tapi apa jadinya jika kekuatan militer yang berkuasa, yang menegakkan kekuasaan dengan cara-cara menumpahkan darah, haruskah kepahitan masa lalu kita sesap lagi layaknya kina, pil pahit obat malaria? Maka, masalah energi, tidak bisa dipandang sebelah mata, karena kemampuannya untuk bertransformasi menjadi komoditas politik yang renyah dikunyah oleh kepentingan politik sesaat.

REGENERASI HAKIM AGUNG, APAKAH SOLUSI PEMBERANTASAN KORUPSI???

Oleh

Laras Susanti

Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Mahkamah Agung (MA) tahun ini mengalami pergantian sebanyak 14 hakim agung juga termasuk Ketua MA Bagir Manan yang perpanjangan masa pensiunnya telah habis. Proses pendaftaran hakim agung oleh Komisi Yudisial(KY) mulai tanggal 25 Februari 2008 mulai dibuka. KY membagi proses seleksi menjadi dua tahap yakni seleksi tahap pertama yang dilaksanakan bulan Februari dan berakhir Juni untuk memilih enam hakim agung dan seleksi tahap kedua dimulai Juli dan berakhir Desember utuk memilih delapan hakim agung

Berdasarkan Pasal 24B ayat (1) setelah perubahan ketiga UUD 1945 Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan manegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kini setelah dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.005/PUU-IV/2006 yang melucuti kewenangan KY kini praktis wewenang KY hanyalah melakukan seleksi hakim agung. Walaupun kewenangan KY atas perilaku hakim telah dicabut, setidaknya dengan kewenangan untuk merekrut hakim hal ini dapat mengurangi intervensi lembaga eksekutif dan legislatif pada lembaga yudikatif.

Perekrutan hakim agung merupakan permasalahan yang sangat penting bagi terciptanya suatu lembaga peradilan yang bersih dan bebas dari korupsi karena sudah menjadi rahasia umum bahwa lembaga peradilan di Indonesia identik dengan praktek korupsi dan mafia peradilan. Oleh karena itulah masyarakat menilai proses perekrutan yang dilakukan oleh sebuah lembaga yang independent diperlukan.Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa korupsi berkaitan erat dengan moral seseorang untuk itulah KY diharapkan dapat menyeleksi hakim-hakim yang memenuhi kriteria dalam Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 yaitu memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela,adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum.

Hakim yang memiliki kriteria tersebut tidak akan hadir dalam suatu sistem perekrutan yang buruk. Tidak salah jika anggapan bahwa good judges are not born but made, hal ini dapat tercapai apabila system rekuitmen, seleksi, pelatihan hakim tersedia secara memadai. (Ahsin Thohari, “Komisi Yudisial dan Reformasi peradilan”).

Tentu saja bukan hal yang mudah bagi KY untuk mencari hakim agung yang sesuai dengan kriteria yang telah disebutkan karena bahkan pada hari pertama pendaftran belum ada orang yang mendaftarkan diri untuk menjadi hakim agung. Begitu banyaknya kontroversi tentang MA menjadi pemicu sepinya peminat disamping itu kriteria dan prosedur sulit untuk dipenuhi, sebagai contoh persyaratan usia. Dan menjadi hal yang berat pula bagi KY karena harus menyediakan tiga kali jumlah calon hakim agung dari jumlah yang dibutuhkan. Dengan sepinya peminat dikhawatirkan KY lantas hanya berusaha utuk memenuhi target jumlah calon hakim saja. Hal ini tentu dapat berakibat calon hakim yang lolos seleksi untuk diajukan ke DPR tidak memenuhi krietria yang seharusnya. Proses perekrutan hakim agung oleh KY tentu saja harus didukung oleh DPR dengan memilih hakim-hakim yang sesuai dengan kriteria yang telah diamanatkan oleh undang-undang. Hal yang paling tidak diinginkan terjadi adalah ketika perekrutan hakim agung yang telah dilakukan KY hanya untuk memenuhi persyaratan pengajuan yaitu tiga kali jumlah hakim yang diperlukan yang berarti bahwa calon yang diajukan tidak sepenuhnya memenuhi kriteria dan DPR justru memilih hakim yang meguntungkan bagi mereka maka reformasi peradilan yang selama ini kita harapkan tidak akan pernah tercapai. Inilah titik tolak KY sebagai lembaga yang berwenang menyeleksi hakim agung untuk menunjukkan eksistensi dan kapabilitasnya untuk menyaring hakim-hakim agung yang sesuai dengan kriteria yang diamanatkan oleh undang-undang. KY juga menjadi salah satu ujung tombak dalam pemberantasan korupsi dan mafia peradilan di negeri ini karena dari hasil seleksi KY, calon-calon hakim agung yang menjadi benteng terakhir keadilan bagi rakyat sebelum calon-calon tersebut diajukan ke DPR. Sinergisitas antara KY dan DPR untuk memilih hakim-hakim agung yang profesional, bersih dari korupsi dan mafia peradilan.

PEMERINTAH LUPA AKAN HUTAN

Baru-baru ini, pemerintah mengeluarkan PP No. 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan. Semenjak keluarnya PP tersebut menimbulkan pro-kontra. Pemerintah beranggapan dengan dibuatnya PP tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada perusahaan pertambangan, yang sudah mendirikan usaha tambang di kawasan hutan lindung. Hal itu dikarenakan, agar perusahaan tersebut dapat menjalankan usaha sesuai kontrak, namun wajib memberi negara kompensasi dana. Penggunaan dari kompensasi dana tersebut, dipergunakan untuk pelestarian hutan.

Di sisi lain, banyak pihak yang tidak setuju atas adanya PP tersebut. Banyak yang beranggapan, PP ini membuka peluang bagi kerusakan hutan yang berdampak ekologis bagi banyak orang. Tanpa tambahan membuka lahan hutan pun, bencana ekologis dinilai sudah sangat memprihatinkan. Dapat dinilai juga pada besarnya kompensasi dana tersebut dianggap terlalu murah. Alasannya, dana kompensasi dari perusahaan tambang tersebut besarnya Rp 1,2 juta hingga Rp 3 juta per hektare tidak akan cukup membiayai untuk pelestarian hutan, apa lagi membuat hutan baru.

Adanya PP tersebut dapat membahayakan daerah-daerah rawan bencana yang disekitar hutan. Bayangkan saja, pemerintah pusat mendapatkan dana atas kompensasi penggunaan hutan, namun daerah yang berada di sekitar hutan mengalami kerusakan lingkungan atau lebih parahnya mengalami bencana alam. Hal ini menunjukkan kurangnya koordinasi antara Pemerintah pusat dengan Pemerintah daerah.

Atas keadaan seperti ini, beberapa LSM dan lapisan masyarakat mangadakan aksi untuk menyelamatkan hutan. Mereka menerima donasi, dimana dana donasi tersebut digunakan untuk menyewa hutan guna menyelamatkan hutan. KOMPAS menyebutkan bahwa, menurut Walhi, PP tersebut berpotensi merusak lebih dari 900 ribu hektare hutan lindung Indonesia yang dilakukan oleh perusahaan yang ditunjuk Pemerintah. Walhi juga mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat yang masih peduli terhadap hutan Indonesia untuk ikut memberikan sumbangan untuk melawan PP ini.

Permainan Politik Kebijakan Pangan

Sampai hari ini kita masih dibingungkan oleh masalah-masalah pangan. Harga sembako yang tidak stabil, kualitas hasil produksi yang menurun, kualitas hidup petani yang mengenaskan, dll. Kemudian apa yang menyebabkan semua itu? Tentunya ini berhubungan dengan globalisasi perdagangan. Di dalam sistem globalisasi terdapat agen-agen yang mengatur jalannya pasar bebas yaitu, WTO, IMF dan World Bank serta masih banyak organisasi lainnya yang belum diketahui. Dalam hubungannya dengan kebijakan perdagangan, Bank Dunia serta IMF dapat memaksa negara-negara yang sedang berkembang untuk mengambil dan menjalankan kebijakan neoliberalisme dan pasar bebas dengan istilah samaran “Penyesuaian Struktural” (structural adjustment). Di dalam WTO, ada beberapa persetujuan yang telah atau sedang dibahas yang bersangkutan dengan sektor pertanian, yaitu Agreement on Agriculture – AOA, Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights – TRIPs dan Sanitary and Phytosanity Measures – SPS.

Dampak pasar bebas yang paling besar terhadap sektor pertanian adalah paksaan terhadap negara yang berkembang, untuk mementingkan peningkatan produksi pertanian khusus untuk tujuan ekspor. Perusahaan pertanian (agribisinis) yang besarlah yang mendapat keuntungan dari pemaksaan ini, dan yang dirugikan adalah para petani. Pasar bebas mengakibatkan semakin besarnya jumlah orang yang kelaparan, kerusakan lingkungan hidup, hancurnya keanekaragaman hayati, dan peminggiran hak-hak petani miskin atas tanah, bibit dan pengetahuan adat/tradisional. Tetapi, Para konglomerat sektor pertanian diberikan kemudahan di seluruh negara, serta diberi kesempatan untuk menjual kelebihan produk mereka di suatu negara ke negara lain dengan harga dibawah ongkos produksi. Tentu saja petani lokal tidak bisa bersaing dengan kondisi-kondisi seperti ini. Semakin hari semakin banyak petani di seluruh dunia ini kehilangan tanah dan pekerjaan. Sebagian besar dipaksa pindah ke kota untuk mencari kerja. Teknologi-teknologi modern – pupuk kimia, racun pestisida, bibit yang direkayasa dll – telah memojokkan kekayaan lingkungan hidup, ketrampilan dan jati diri banyak petani.(FSPI: Federasi Serikat Petani Indonesia)

Sistem neoliberalisme di atas tersebut menjadi sebuah jawaban mengapa perkembangan Indonesia selama ini menjadi tersendat-sendat di segala bidang. Karena Indonesia sudah masuk ke dalam sistem Internasional tersebut. Entah masuk secara sukarela atau terpaksa. Kebijakan impor beras dan kebijakan yang sifatnya merugikan lainnya adalah sekelumit bunga api dari bara api di level internasional.

KORUPSI BUKAN BUDAYA INDONESIA

Korupsi sudah menjadi hal yang tidak asing lagi di telinga kita. Belakangan ini seluruh media, baik cetak maupun elektronik memberitakan tentang korupsi. Namun, jika kita mencermati lebih dalam, istilah korupsi kini hanya diidentikkan sebagai penggelapan uang. Korupsi sebenarnya punya makna yang lebih luas, yakni buruk, rusak suka menerima uang sogok, menyelewengkan uang atau arang perusahaan atakah barang milik negara, menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Bahkan, The Lexicon Webster Dictionary menyebutkan bahwa korupsi adalah kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Jenis-jenis korupsi bisa bermacam-macam, korupsi uang, kekuasaan, bahkan waktu.

Indonesia sejatinya tidak pernah memiliki budaya korupsi. Paradigma bahwa korupsi adalah budaya bangsa, semestinya segera direduksi. Hal ini mengakibatkan masyarakat Indonesia akhirnya akan menjadi permisif pada korupsi. Masyarakat mulai tidak peduli dan pada akhirnya melupakan dan memaafkan. Hal inilah yang menjadikan korupsi makin sulit diberantas.

Negeri ini perlu kembali diingatkan bahwa Indonesia mencatatkan dirinya secara spektakuler sebagai salah satu negara terkorup di dunia, dengan jumlah rakyat miskin yang terus bertambah setiap tahun. Negara terkorup dengan koruptor yang paling rentan dengan kesehatan dan ketika diberi izin mereka malah kabur. Penegakan hukum masih menjadi wacana, komitmen pemberantasan korupsi yang tebang pilih,serta mafia peradilan yang menjadi kawan sejati koruptor menjadi faktor penghambat pemberantasan korupsi di negeri ini.

Korupsi bukan hanya sekedar pelanggaran hukum, melainkan juga krisis moral yang harus ditinjau dari berbagai disiplin ilmu. Kesadaran masyarakat bahwa korupsi sama sekali bukan budaya bangsa ini harus terus ditingkatkan, karena korupsi mendatangkan kesengsaraan.

Mengapa banyak sarjana yang menjadi pengganguran ??

Pemerintah akhir-akhir ini sering mengangkat kembali wacana kewirausahaan. Tapi pemerintah tidak menyadari bahwa bahwa kebijakan pendidikan pada tingkat mendasar dan menengah telah banyak mematikan kreatifitas dan menghambat daya cipta siswa maupun guru.

Menurut Andy Hargreaves, ”kita hidup dalam ekonomi pengetahuan dan sebuah masyarakat berpengetahuan. Ekonomi pengetahuan tumbuh karena adanya kreatifitas dan kemampuan mencipta yang memungkinkan pemecahan masalah secara cerdas. Sekolah dalam masyarakat berpengetahuan harus menciptakan kualitas ini, kalau tidak masyarakat dan bangsa akan ditinggal”.

Hargreaves membidik dua hal yang sering dilupakan oleh dunia pendidikan kita yaitu pertama, ekonomi pengetahuan yang pertama-tama melayani kebaikan individu. Kedua, masyarakat berpengetahuan mengarahkan dirinya demi kebaikan umum. Seharusnya sekola-sekolah menanamkam keduanya kepada siswa.

Kurikulum pendidikan yang ada di Indonesia, benar-benar membuat siswa tidak kreatif seperti adanya Lembar kerja Siswa (LKS). Pemerintah menginginkan siswa-siswa menjadi kreatif dan daya cipta dengan diadakannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang seharusnya membuka ruang dan kebebasan bagi terciptanya kreatifitas, menumbuhkan kemampuan memecahkan masalah dan menanggapi masalah baru secara cerdas. Tapi kita terlalu terpaku pada Standar kompetensi lulus dan standar isi yang bersifat sentral listrik. Selain itu, berdalih dengan adanya solidaritas komunitas, adanya kebijakan pendidikan kita yang memosisikan guru dan siswa sekedar terampil menjawab soal pilihan ganda.

Banyaknya sarjana yang mengganggur merupakan cerminan pemerintah yang kurang mampu mengatur kebijakan pendidikan dengan baik. Pemerintah harus berani memperbaiki kebijakan pendidikan yang dapat menumbuhkan daya kreatif, inovasi dan cipta.

Pendidikan seharusnya mampu menciptakan lulusan yang kreatif penuh daya cipta, bukan hanya mampu memecahkan masalah tapi kompeten dalam menjawab tantangan zaman dengan lebih kreatif dan adaptif jika mereka di belaki pengamalan tersebut.

Kreatifitas dan inovasi hanya dapat tumbuh dari jiwa yang merdeka yang memilki motivasi internal dalam belajar. Hal ini tidak akan tercipta jika pemerintah masih melaksanakan UN. Kreatifitas dan inovasi dapat tumbuh dari dialog dan pertemuan individu. Selain itu pengetahuan kontekstual akan menjadi modal pertumbuhan kemanusiaan.

Banyaknya sarjana yang menganggur akan tetap menjadi keniscayaan jika kebijakan pemerintah masih tuli dan buta terhadap kritikan, masukan dan realita masyarakat. Kebijakan adannya UN yang berlaku dari SD sampai SLTA hanya akan menyiapkan para mahasiswa yang mampu menjawab soal-soal, tetapi tidak dapat memecahkan persoalan hidup. Tidak heran jika banyak dari mereka yang menganggur.

Sumber : OPINI Kompas, Jum'at 15 februari 2008 “Penggangguran Intelektual” oleh Doni Koesama

Menuju Ketahanan Pangan Indonesia Seutuhnya : Apakah Hanya Sekedar Impian??

Pada tahun 2008 ini, Bangsa Indonesia akan memperingati 100 tahun kebangkitan nasional yang terhitung sejak berdirinya Budi Utomo pada tanggal 1 Mei 1908. Di tahun ini pula, Indonesia sedang dihadapkan pada permasalahan yang tidak hanya sekedar menyangkut hajat hidup orang banyak tetapi sesuatu yang menjadi kebutuhan dasar setiap manusia. Permasalahan tersebut adalah krisis pangan!!

Krisis pangan dalam hal ini tidak harus selalu identik dengan kelangkaan stok pangan di suatu wilayah negara, tetapi juga bisa diartikan ketidakmampuan rakyat atau penduduk suatu negara untuk membeli bahan pangan guna memenuhi kebutuhan pokok mereka sebagai manusia karena harga pangan yang telah melambung tinggi. Sebuah tanda tanya besar untuk Indonesia, yang pernah dijuluki Negara agraris, sampai mengalami kondisi seperti ini.

Kondisi seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi telah menjadi masalah global. Hanya saja imbasnya dalam sosial ekonomi di tiap negara berbeda-beda tergantung ketahanan atau kekuatan di negara tersebut. Indonesia adalah salah satu negara yang terpuruk akibat kondisi seperti ini.

Ada sebuah penelitian dari LIPI bahwa krisis pangan yang diprediksi pada 2020 bisa terjadi lebih cepat. Salah satu indikator itu, antara lain mulai menurunnya produksi pertanian secara drastis tiap tahun dan tingkat konsumsi masyarakat yang meningkat seiring pertambahan jumlah populasi penduduk. Di sisi lain, tidak ada proteksi terhadap kebijakan impor pangan dan tidak ada insentif bagi produsen pangan dalam negeri.

Para ekonom dan pengamat berpendapat bahwa kenaikan komoditas-komoditas pangan di pasar internasional disebabkan oleh beberapa hal seperti meroketnya harga minyak dunia, banyak petani yang menanam tanaman bahan baku pembuatan biofuel sehingga terjadi pergeseran pola tanam, dan lain sebagainya. Alhasil, negara-negara (termasuk Indonesia) yang masih mengandalkan impor untuk mencukupi kebutuhan pangan nasionalnya langsung kalang kabut karena otomatis akan banyak devisa negara yang keluar pada pos tersebut. Pertanyaan berikutnya adalah kenapa Indonesia masih sangat tergantung dengan impor???

Sejak krisis tahun 1998 sebenarnya ketidakmampuan Indonesia memenuhi kebutuhan pangan sudah terlihat. Kenyataan menyakitkan, negara ini tiba-tiba menjadi pengimpor bahan pangan terbesar di dunia.Dalam setahun pernah mengimpor beras 2 juta ton, jagung lebih dari 1,5 juta ton, kedelai lebih dari 1,2 juta ton, kacang tanah 0,8 juta ton, kacang hijau 0,3 juta ton, gula pasir 1,6 juta ton (nomor dua terbesar di dunia setelah Rusia), buah-buahan sekitar 167 ribu ton, sayuran 265 ribu ton, daging setara 400 ekor sapi, susu dan hasil susu 99 ribu ton.

Dalam sebuah kesempatan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Siswono Yudohusodo pernah mengatakan, pada waktu ini Indonesia merupakan negara pengimpor pangan yang amat besar. Di tahun 2000 saja, impor Indonesia atas delapan komoditas pangan yaitu beras, gandum, jagung, biji dan bungkil kedelai, kacang tanah, gula pasir dan bawang putih, mencapai nilai Rp 16,62 triliun. Jumlah yang fantastis

Dalam kondisi seperti itu ada tekanan pasar pangan global yang lebih murah dan berkualitas baik, yang suka atau tidak, akan mengancam kelangsungan produksi pangan nasional. Apalagi, ke depan, tidak bisa negara seenaknya memasang hambatan impor meskipun tujuannya melindungi petani dalam negeri. Petani (terutama petani miskin) menjadi salah satu pihak yang sangat dirugikan dengan keberadaan impor komoditi pangan.

Ada banyak pendapat untuk menjawab kenapa Indonesia masih mengandalkan impor untuk urusan pangan, seperti kurangnya jumlah produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan nasional, banyak petani yang gagal panen akibat bencana, kualitas produk lokal yang kurang baik, preferensi yang lebih dari masyarakat terhadap produk impor, dan lain sebagainya. Tetapi sekali lagi, keadaan dan alasan semacam ini sangat ironi jika terjadi di Indonesia, negeri di mana kata orang tongkat kayu dan batu jadi tanaman (ingat Koes Plus). Sangat tidak masuk akal jika kita mengkambinghitamkan alam/keadaan geografis Indonesia sebagai penyebab utama krisis ini karena akan sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara di Afrika, misalnya Kenya, Ethiopia, dsb.

Justru suatu pendapat yang lebih masuk akal bahwa kondisi ini berawal dari pemerintah yang kurang tepat (jika tidak mau dikatakan “salah”) terhadap pertanian Indonesia dan bukan karena alasan-alasan yang bersifat teknis; misalnya kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah tidak sepenuhnya berpihak pada petani sehingga tidak ada gairah petani untuk meningkatkan produksi, dihapuskannya monopoli hak impor yng dimiliki Bulog sehingga produk pangan impor semakin banyak masuk di pasar domestik, termasuk tidak adanya sinkronisasi pendapat antara Departemen Pertanian dengan Bulog, Departemen Perdagangan dan Kementerian Perekonomian, dll. Bahkan kemungkinan yang lebih mengerikan lagi jika hal ini telah menjadi skenario dalam liberalisasi (perdagangan) pangan yang dimotori oleh WTO dan negara-negara lain di belakangnya.

Sesungguhnya masih ada banyak solusi / jalan keluar agar kita dapat secara perlahan merangkak keluar dari ketergantungan impor dan menuju pada kemandirian pangan, antara lain seperti peningkatan kualitas sistem pertanian dengan cara intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi; pengembangan kualitas petani dan produk pertanian melalui penyuluhan dan riset; penjaminan pemerintah terhadap harga produk pertanian lokal; meniru sistem yang ada di luar negeri yang terbukti sukses; atau bahkan mempelajari kembali proses swasembada pangan di era Soeharto. Tetapi semua solusi tersebut tidak akan berjalan dengan baik jika tidak diawali dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang benar-benar diniatkan untuk menuju kebangkitan ketahanan pangan Indonesia.

Pada tahun ini, BEM KM UGM akan concern mengkaji berbagai permasalahan dan kebijakan pemerintah yang terkait dengan pertanian dan pangan Indonesia. Harapannya adalah agar dapat terumuskan usulan-usulan solusi yang dapat membawa keluar bangsa ini dari permasalahan tersebut. Pengkajian ini juga ditujukan untuk membuktikan bahwa tidak sewajarnya Indonesia mengandalkan impor untuk urusan pangan karena Indonesia merupakan “potongan tanah surga yang terlempar ke bumi”.

Saat ini, kita secara pribadi (yang tinggal di Pulau Jawa, Jogjakarta, lebih sempit lagi sebagai mahasiswa UGM) belum merasakan betul dampak buruk dari krisis pangan ini karena masing-masing dari kita masih merasa mampu membeli berporsi-porsi makanan, tapi bagaimana dengan saudara kita yang tidak seberuntung diri kita.......... (ingat kasus penjual tahu yang akhirnya bunuh diri setelah harga kedelai melambung, alasannya cukup membuat hati miris....dia sudah merasa tidak sanggup memenuhi kebutuhan keluarganya)

Senin, 22 September 2008

Dampak Krisis Listrik terhadap Perekonomian Indonesia

Krisis listrik di Indonesia telah memunculkan berbagai dampak yang ditanggapi pemerintah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang ternyata hanya merupakan kebijakan-kebijakan reaksioner dan jangka pendek. Beberapa kebijakan yang terjadi akibat krisis listrik antara lain pemadaman listrik secara bergilir, pengalihan jam kerja menjadi Sabtu-Minggu, dan rencana kenaikan tarif dasar listrik.

Pemadaman Bergilir

Krisis pasokan bahan bakar yang dihadapi PLN sudah terlalu berat. Menurut Dirut PLN Eddi Widiono, krisis pasokan bahan bakar sudah dimulai sejak tahun 2003. Saat itu pasokan bahan bakar yang tidak ada adalah gas. Untuk menjaga pasokan listrik, agar masyarakat tetap mendapat pasokan listrik, PLN memaksa pembangkit-pembangkit listriknya yang berbahan bakar gas dioperasikan dengan bahan bakar minyak. Akibatnya, pembangkit tersebut tidak dapat menghasilkan listrik secara maksimal.

Saat ini, setelah selama lima tahun harga bahan bakan minyak terus meroket di pasaran dunia, PLN semakin terpuruk. Perawatan terhadap pembangkit-pembangkit yang dipaksakan tersebut membengkak. Parawatan yang seharusnya dilakukan setiap 6000 jam operasi, harus diperpendek menjadi tiap 2500 jam. Dan pembangkit tersebut sulit untuk menerima kembali gas sebagai bahan bakarnya. Sekalipun bisa, gas dan batubara juga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan PLN.

Dengan kondisi yang ada, PLN mulai membuat jadwal pemadaman bergilir disamping gencar menyerukan penghematan lewat media masa cetak maupun elektronik. Pihak yang paling dirugikan dalam kebijakan ini adalah sektor industri. Sektor utama penggerak perekonomian saat ini mengalami kerugian yang tidak sedikit. Produktivitas berkurang akibat pemadaman listrik secara bergilir. Belum lagi, kerugian yang dialami akibat kerusakan alat-alat elektronik semakin membebani pelaku usaha.

Pemadaman listrik juga berpengaruh terhadap investasi. Kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia semakin berkurang. Kepastian pasokan listrik merupakan salah satu faktor penentu kepercayaan investor untuk mengalirkan dananya ke Indonesia. Apabila kepercayaan ini pudar, maka output total dalam perekonomian akan berkurang. Hal ini juga menunjukkan berkurangnya pendapatan nasional.

Pengalihan Jam Kerja

Surat Keputusan Bersama mengenai pengalihan jam kerja menjadi Sabtu dan Minggu semakin memberatkan pelaku usaha. Pengalihan tersebut akan menambah biaya bagi industri karena mereka harus membayar karyawannya dengan upah lembur. Padahal, pengusaha sudah menanggung kerugian akibat pemadaman listrik secara bergilir. Biaya tambahan mengenai pembayaran upah lembur tentu semakin mencekik pelaku usaha.

Dampak lanjutan dari pengalihan jam kerja belumlah selesai. Dengan pembengkakan beban yang harus ditanggung industri, maka industri akan mengurangi jumlah karyawannya. Artinya, pengangguran di Indonesia akan meningkat. Meningkatnya pengangguran di Indonesia akan menambah permasalahan dalam proses pembangunan perekonomian Indonesia. Belum lagi, penggangguran sering dikaitkan dengan adanya korelasi positif dengan penyimpangan sosial, termasuk tindakan kriminal.

Tarif Dasar Listrik akan Naik Lagi?

Sudah terjadi pemadaman listrik secara bergilir, pelaku usaha masih dipaksa untuk mengalihkan jam kerja, dan kini TDL akan dinaikkan. Sungguh merupakan kondisi yang ironi, dimana pemerintah justru semakin memberatkan rakyatnya di tengah kondisi yang sudah sangat berat ini.

Lagi-lagi, sektor penopang perekonomian Indonesia yang dikorbankan. Biaya yang harus ditanggung semakin besar, sehingga akan semakin banyak industri yang gulung tikar. Kalau hal ini terjadi, berarti output perekonomian akan berkurang, padahal permintaan relatif meningkat menjelang puasa. Akibatnya, harga-harga barang akan melonjak dan masyarakat akan semakin dirugikan.

Hasil Diskusi Bulan Juli
Kastrat BEM FEB UGM

Kinerja Dirjen Bea&Cukai: Prestasi dan Korupsi

Bea dan Cukai (selanjutnya disingkat BC) adalah institusi pemerintah di bawah Departemen Keuangan yang berwenang terhadap 2 komponen penerimaan negara, pabean dan cukai, termasuk juga mengawasi proses ekspor impor, peredaran hasil tembakau dan sekaligus menjadi trade fasilitator. Seiring dengan mencuatnya kasus suap di Tanjung Priok, maka tugas BC sebagai pabean menjadi dipertanyakan.

Tugas BC sebagai pabean adalah memungut bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Mengapa hanya impor saja yang dikenai pajak? Hal ini berhubungan dengan tujuan diberlakukannya pajak impor, yaitu melindungi industri dalam negeri dari produk-produk impor. Hal ini disebut juga tariff barrier. Sementara untuk ekspor, pada umumnya pemerintah tidak memungut bea keluar, dengan maksud untuk mendukung perkembangan industri dalam negeri dan mendorong ekspor. Di samping itu, pemerintah memberikan insentif berupa pengembalian pajak. Akan tetapi, untuk beberapa komoditas, tetap dikenai bea keluar, khususnya bahan baku produksi seperti kayu, rotan, dengan maksud untuk melindungi sumber daya alam Indonesia dan diharapkan para eksportir akan mengolah produk mereka terlebih dahulu sebelum di ekspor.

Prosedur pengurusan izin impor beserta pajak yang harus dibayar juga cukup rumit. BC sendiri lebih terlibat pada proses pengeluaran barang. Importir terlebih dahulu harus mengurus dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Pada PIB disertakan kategori, harga, jumlah dan keterangan lain. Dokumen ini nantinya diperiksa oleh pemeriksa BC dan dicocokkan dengan kondisi barang yang sesungguhnya. Dari dokumen ini pula ditentukan jumlah pajak impor dan bea masuk yang harus dibayar importir. Setelah importir membayar bea masuk dan pajak impor, barulah PIB tersebut diproses oleh BC. Selanjutnya, jika semua berjalan lancar, importir dapat mengeluarkan barangnya. Untuk hewan dan tumbuhan biasanya harus menjalani karantina, dan untuk bahan makanan impor biasanya membutuhkan dokumen tambahan seperti certificate of origin dan sertifikasi halal. Untuk komoditas khusus seperti ini, BC juga bekerjasama dengan instansi lain yang terkait, seperti Departemen Perdagangan.

BC sendiri memiliki sistem penjaluran barang yang didasarkan pada profil importir, komoditas, track record dan informasi lain. Jalur pertama adalah prioritas, khusus untuk importir yang memiliki track record sangat baik dan improtir ini mendapat prioritas dari segi pelayanan dan sistem pengeluaran barangnya otomatis. Jalur kedua adalah jalur hijau, diperuntukkan importir yang memiliki track record baik dan komoditi impornya termasuk low risk. Jalur ketiga adalah jalur merah yang diperuntukkan bagi importir baru dan importir dengan risiko tinggi, track record tinggi atau adanya catatan lain. Untuk bea keluar, prosedur yang berlaku hampir sama.

BC sendiri memiliki termasuk salah satu sumber pendapatan negara. Selama ini, BC selalu mencapai 90% dari target yang dibebankan APBN, bahkan pada tahun 2005 BC berhasil melampaui target hingga menyentuh angka 103%. Untuk tahun 2008, karena adanya APBN-P, target BC dinaikkan hampir mencapai 2 triliun, dan sampai saat ini sudah mencapai 64,47% dari jumlah yang ditargetkan, yaitu Rp 72,69 triliun; dengan rincian dari bea masuk sebesar Rp 15,82 triliun dari bea masuk, Rp 45,71 triliun dari cukai dan Rp 11,20 triliun dari bea keluar.

Adanya praktik suap di BC, membuat pengusaha terpaksa mengeluarkan biaya lagi sebesar 5 – 15% dari biaya normal pengurusan dokumen pabean. Itupun berlaku untuk barang-barang yang masuk atau keluar ke Indonesia secara legal. Jika diasumsikan pengusaha masih harus mengeluarkan biaya 10% dari biaya normal pengurusan dokumen, maka negara akan mengalami kerugian sebesar (10% x (15,82 + 11,20)) = Rp 2,7 triliun, di tahun 2008. Dan angka ini masih bisa naik lagi.

Mengenai kasus di Tanjung Priok, petugas yang menerima suap adalah pelaksana, yaitu petugas yang bertugas memeriksa dokumen PIB dan melakukan pemeriksaan fisik. Petugas ini juga berkewajiban memeriksa jumlah pajak yang harus dibayar. Petugas penerima suap tersebut memalsukan jumlah pajak impor yang harus dibayar. Jumlah suap mencapai 500 juta. KPK menyatakan bahwa itu barulah temuan dalam satu hari setelah penggeledahan di Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai, Tanjung Priok, 30 Mei lalu.

Ini merupakan suatu kekecewaan besar bagi BC, mengingat mereka telah menghabiskan 4,3 triliun untuk reformasi birokrasi yang digunakan untuk perbaikan sistem kerja dan pemberian tunjangan kerja pejabat dan pegawai. Reformasi birokrasi ini sendiri dilakukan oleh Departemen Keuangan setelah BC masuk menjadi institusi terkorup ketiga se-Indonesia, setelah peradilan dan kepolisian.

Korupsi di dalam BC harus diusut lebih dalam, tidak hanya KPK saja yang aktif, lembaga lain seperti POLRI dan kejaksaan juga harus lebih serius dalam mengangani karena selama inihanya KPK yang dianggap paing benar. Di samping itu, reformasi birokrasi sebaiknya dilakukan tidak hanya pada tataran elite, tetapi sampai ke akar-akarnya.

Hasil Diskusi Bulan Juli
Kastrat FEB UGM

Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Nelayan

Harga BBM yang meningkat disertai dengan tingkat inflasi yang diperkirakan melebihi dua digit memberikan dampak cukup besar terhadap berbagai kalangan, seperti UKM, koperasi, perindustrian, perkebuanan, perikanan-kelauatan. Dampak langsung yang dirasakan oleh nelayan yaitu peningkatan biaya bahan bakar untuk melaut. Selain harga bahan bakar untuk pengoperasian kapal semakin tidak terjangkau, kenaikan harga BBM juga berdampak pada kenaikan biaya operasional lain seperti bahan kebutuhan pokok selama melaut yang mencapai 20 hingga 30 persen dari biaya produksi, serta penyediaan es balok.

Kenaikan harga solar dari Rp 4.300,00 menjadi Rp 5.500,00 menjadikan kondisi ekonomi nelayan semakin terpuruk, terlebih karena tanpa kenaikan harga BBM pun nelayan sudah menerima harga yang melebihi harga pasar. Hal ini terjadi karena biaya pengangkutan solar dari distributor ke daerah sekitar pesisir membutuhkan biaya yang besar karena jarak tempuh dalam pendistibusian BBM tersebut cukup jauh. Dengan kenaikan harga BBM, nelayan harus menerima harga yang begitu tinggi, yaitu harga BBM yang secara resmi dinaikkan oleh pemerintah ditambah dengan biaya pendistribusian yang semakin tinggi.

Kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya operasional nelayan. Di beberapa daerah, rata-rata nelayan melaut 3-4 kali dalam satu bulan, namun setelah kenaikan harga BBM, dalam satu bulan hanya melaut 1-2 kali. Padahal, kebanyakan nelayan di Indonesia hanya menggantungan sumber penghasilan dari hasil melaut. Setiap kali melaut, jenis perahu tertentu membutuhkan 10-15 liter solar. Misalkan 15 liter solar diambil sebagai sampel dalam perhitungan, dengan harga solar saat ini (Rp 5.500,00) berarti nelayan harus mengeluarkan biaya sebesar (15 X Rp 5.500,00) atau sebesar Rp 82.500,00. Biaya ini jauh berbeda dengan biaya sebelum kenaikan harga BBM, saat harga solar masih Rp 4.300,00, nelayan mengeluarkan biaya Rp (15 X Rp 4.300,00) atau sebesar Rp 64.500,00. Biaya bahan bakar ini belum ditambah dengan biaya pendistribusian BBM. Pada umumnya, biaya yang dikeluarkan untuk bahan bakar yaitu sekitar 45% dri total biaya produksi setiap melaut.

Peningkatan biaya untuk BBM juga berpengaruh terhadap komponen biaya lain yang merupakan bagian dari biaya operasional. Biaya lain yang turut membengkak yaitu biaya kebutuhan pokok selama melaut, biaya penyediaan es balok, serta biaya lain yang terpengaruh karena kenaikan harga BBM tersebut. Harga kebutuhan pokok dan barang lain sebenarnya telah meningkat sebelum kenaikan harga BBM secara resmi diumumkan oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan harga BBM, sehingga harga-harga barang meningkat sebelum hagra BBM resmi dinaikkan (terjadi expected inflation).

Ketika sebagian nelayan memutuskan untuk tetap melaut, tenyata kenaikan BBM tersebut diikuti oleh kelangkaan pasokan BBM bagi nelayan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPDN), padahal nelayan tidak diperbolehkan untuk membeli BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Berkurangnya pasokan BBM ke SPDN akan berpengaruh besar terhadap produktivitas nelayan. Di samping itu, tingkat pengagguran akan meningkat karena nelayan yang tidak mampu menutup biaya bahan bakar setelah kenaikan harga BBM akan memilih berhenti melaut daripada menanggung kerugian yang begitu besar. Terlebih, sejauh ini belum terdapat energi alternatif bagi nelayan selain BBM. Kalau BBM akan dihemat, misal penghematan solar, tetap saja solar tesebut harus dicampur dengan minyak tanah, oli atau zat lain yang persentasenya tetap lebih kecil dibandingkan solar yang digunakan. Pengoplosan bahan bakar tersebut akan memperpendek usia perahu nelayan.

Solusi yang dapat dilakukan yaitu dengan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada nelayan. Dalam jangka pendek, kebijakan ini merupakan kebijakan yang efektif karena dalam jangka pendek pemerintah tidak dapat memenuhi atau memberikan bantuan secara spesifik terhadap setiap mata pencaharian dalam menghadapi kenaikan harga BBM. Nelayan perlu mendapatkan BLT untuk mengatasi lag yang terjadi akibat kenaikan harga BBM. Kebijakan ini memang hanya merupakan solusi alternatif dalam jangka pendek karena dalam jangka panjang harga-harga akan menyesuaikan dengan sendirinya. Kenaikan harga BBM nantinya akan menjadikan harga ikan laut meningkat pula. Dengan demikian, pendapatan nelayan juga akan meningkat, sehingga nelayan tetap dapat melaut. Namun, hal ini hanya akan terjadi pada jangka panjang karena pada jangka pendek ketika biaya operasional mengingkat dan nelayan meresponnya dengan meningkatkan harga ikan laut, maka permintaan terhadap ikan laut akan berkurang. Jika hal ini terjadi, maka pendapatan nelayan akan berkuranng, padahal biaya operasional membengkak. Akibatnya, apabila tidak diberikan BLT, maka kerugian nelayan dalam jangka pendek akan jauh lebih besar.

Pelaksanaan pemberian BLT kepada nelayan dengan tepat sasaran bukalah hal yang mudah. Terdapat berbagai kendala yang dapat menghambat pendistribusian BLT dengan tepat, yaitu bahwa Indonesia tidak memiliki data kependudukan yang akurat, sehingga dalam pelaksanaan kebijakan, sering sekali salah sasaran. Hal ini terjadi karena data yang dimiliki tidak diperbarui secara berkala, padahal dalam beberapa bulan saja, status pekerjaaan seseorang dapat berubah dan mata pencahariannya pun berubah. Di sisi lain, moral hazard masih banyak terjadi di Indonesia dengan berbagai alasan. Inilah yang perlu diawasi oleh setiap komponen masyarakat, termasuk mahasiswa.

Hasil Diskusi Bulan Juni 2008

Kastrat Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM

Bom Waktu Subsidi BBM

Harga minyak dunia yang hampir mencapai 120 US dollar per barrel, bahkan pernah mencapai 120 US dollar per barrel beberapa hari yang lalu, menjadikan kondisi keuangan negara semakin carut-marut. APBN pun rajin disesuaikan dengan kondisi yang cukup berfluktuasi.

Saat ini tidak banyak alternatif solusi yang dapat dipilih pemerintah, bahkan mungkin hanya terlintas satu solusi atas permasalahan ini, yaitu dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Pada awalnya, pemerintah enggan menaikkan harga BBM sampai tahun 2009. Faktor politislah yang banyak mendominasi keputusan untuk tetap mempertahankan harga BBM hingga tahun 2009. Pemerintah akan dianggap gagal jika tidak mampu mempertahankan harga BBM. Hal ini akan berdampak pada pilihan masyaraat dalam pemilu yang akan dilaksanakan pada tahun 2009 mendatang.

Kenaikan BBM bersubsidi direncanakan akan mulai dilaksanakan pada bulan Juni 2008. Harga premium akan dinaikkan mejadi Rp 6.000,00 per liter, sedangkan harga solar akan naik menjadi Rp 5.500,00 per liter, dan harga minyak tanah dinaikkan menjadi Rp 2.500,00 per liter. Kenaikan harga BBM ini akan menghemat beban subsidi pemerintah sebesar Rp 35 triliun.

Kebijakan penghematan beban subsidi dengan cara menaikkan harga BBM dapat menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap masyarakat. Pertama, kenaikan harga BBM dengan pengurangan subsidi akan mengurangi kesejahteraan masyarakat. Masyarakat akan menerima harga BBM lebih tinggi yang akan berdampak pada peningkatan biaya produksi dan bagian pendapatan yang digunakan untuk konsumsi. Kedua, pengurangan subsidi BBM akan meningkatkan harga barang lain, dengan kata lain inflasi akan meningkat. Peningkatan harga yang tidak disertai dengan peningkatan pendapatan masyarakat pada persentase yang sama dengan tingkat inflasi akan menurunkan pendapatan riil. Terlebih, saat ini masyarakat tidak mengalami peningkatan pendapatan walaupun harga BBM akan dinaikkan. Ketiga, masyarakat akan mengalami dampak psikologis terkait dengan kenaikan harga BBM yang tidak disertai dengan transparansi pengalokasian dana sebagai akibat dari pengurangan subsidi tersebut. Keempat, kemiskinan akan meningkat karena masyarakat yang berada pada kondisi hampir miskin turut mengalami shock akibat adanya kenaikan harga.

Walaupun terdapat berbagai dampak negatif dengan adanya pengurangan subsidi BBM yang disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia, namun terdapat pula beberapa hal yang layak untuk dipertimbangkan. Pertama, peningkatan harga BBM berarti peringataan untuk seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak menghambur-hamburkan BBM. Kedua, pengurangan subsidi BBM pada masa sekarang berarti membantu generasi mendatang agar tidak begitu besar untuk menanggung beban utang negara sebagai akibat dari pembiayaan defisit APBN. Bagaimanapun juga, pemberian subsidi dari pemerintah yang berlebihan merupakan bom waktu terhadap perekonomian negara.

Rencana program pemberian BLT Plus sebesar Rp 100.000,00 per kepala keluarga setiap bulan, minimal selama satu tahun hanya merupakan solusi jangka pendek terhadap kenaikan harga BBM. Namun, hal ini jauh lebih baik dibandingkan jika pemerintah tidak melakukan apapun untuk mengurangi beban masyarakat. Akan lebih baik lagi jika ability to pay dari masyarakat ditingkatkan secara bertahap, sehingga ketergantungan masyarakat terhadap ’ikan’ pemberian pemerintah berangsur-angsur berkurang. Sudah saatnya pemerintah menyediakan ’pancing’ kemudian memberikannya kepada masyarakat, tidak lagi memberikan ’ikan’ secara cuma-cuma.

Hasil Diskusi Bulan April
Kastrat FEB UGM

REDD : Antara Ekonomi vs Ekologi

Desember 2007 yang lalu, Indonesia telah menandatangani sebuah perjanjian baru antara negara- negara berkembang dengan negara- negara maju dalam wacana pemeliharaan lingkungan. REDD, alias Reducing Emmission from Deforestation in Developing Countries yaitu sebuah proyek yang ditujukan untuk mengurangi emisi dari deforestasi di negara- negara berkembang dengan cara melakukan reforestasi hutan- hutan yang ada di negara- negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada intinya, negara kita menyetujui untuk memulai lingkungan bebas polusi dengan cara mencegah laju deforestasi dan perusakan hutan secara besar- besaran sekaligus menjadi lokasi pilot project proyek tersebut. Proyek ini menjadi yang pertama di dunia sebelum skema REDD diberlakukan pasca-Protokol Kyoto pada 2012 mendatang. Proyek ini awalnya mendapat kesulitan dalam konvensinya, yaitu ketika negara- negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada dan Jepang menolak deeper cut dalam pengurangan emisi karbon di negaranya sebesar 25-40 persen di tahun 2020 dikarenakan ketakutan akan jatuhnya perekonomian mereka. Akan tetapi, REDD berhasil disetujui dengan prosedur pemeliharaan hutan tropis yang ada dengan pemberian imbalan kepada negara penyumbang hutan yaitu negara berkembang.

REDD merupakan salah satu poin dari Bali Road Map; selain mengenai adaptasi, teknologi, IPCC, CDM dan negara miskin. Semua poin tersebut tertuju kepada penanganan climate change yang menyebabkan penurunan produktivitas dan bencana alam yang terjadi di banyak negara. Berangkat dari kesepakatan tersebut, mari kita lihat apa yang terjadi pada sisi ekonomi negara Indonesia ketika persetujuan ini mulai dijalankan. Pertama, Indonesia mendapat pendanaan untuk pemeliharaan hutan sebesar US$ 30 juta atau sekitar 300 triliun rupiah dan hutan kita disewa sebagai pusat reduksi emisi karbon dunia. Pendanaan tersebut diberikan kepada negara langsung ke pemerintah pusat, dan rencananya dana tersebut akan dikelola bersama dengan pemerintah daerah dalam hal pemeliharaan dan pengawasan hutan tersebut. Dan sesuai peraturan pemerintah tahun 2008, dana tersebut akan masuk kedalam penerimaan negara. Namun, pemerintah masih harus berkontroversi mengenai peraturan- peraturan yang dibuatnya, antara lain tentang PP no.2 tahun 2008 yang menyebutkan bahwa hutan lindung dapat digunakan untuk aktivitas pertambangan dengan hanya membeli tanah dari hutan tersebut perhektar senilai 3 juta rupiah saja. Tentu saja hal itu sangat kontras dengan kesepakatan untuk menurunkan emisi karbon dunia yang sangat melindungi hutan lindung. Apakah pemerintah kita berpikir bahwa hutan kita adalah salah satu komoditi yang besar dalam produktivitas negara ? Kenapa dengan begitu mudahnya negara dapat membuat dan mensahkan peraturan tersebut hanya untuk kegiatan pertambangan yang belum tentu akan dikelola oleh negara ? Apalagi jika kegiatan pertambangan tersebut hanya akan berujung kepada perusakan lingkungan yang akan menyebabkan bencana yang berkepanjangan, contoh lumpur Lapindo. Namun, ternyata Presiden sendiri mengatakan bahwa PP tersebut bertujuan untuk melindungi kelestarian hutan lindung. Tidak salahkah?


Memang susah untuk mengkaitkan ekonomi dan ekologi untuk kesejahteraan dunia. Pasti adakalanya terlintas pikiran untuk mengkonversi hutan menjadi sebuah bisnis dan itu bukanlah sebuah hal yang baik bagi keberlangsungan hidup dunia karena pengeksploitasian hutan dapat menyebabkan punahnya ekologi dan pada akhirnya akan mengganggu kesejahteraan dunia. Akan tetapi, ada kalanya pemikiran politis mengalahkan kebutuhan manusiawi, sehingga keputusan-keputusan yang didasari kepentingan politis lebih sering menguntungkan segelintir orang daripada menyejahterakan seluruh rakyat secara merata.


Hasil Diskusi Bulan Maret 2008
Kastrat Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM

Pendidikan VS Kemiskinan

Pendidikan diyakini sebagai salah satu cara yang ampuh untuk memberantas kemiskinan. Dengan adanya peningkatan tingkat pendidikan masyarakat miskin, pendapatan mereka akan meningkat, sehingga kemiskinan dapat berkurang. Bahkan, pendidikan juga dapat mengubah negara yang mengalami kehancuran akibat Perang Dunia II menjadi negara yang berpengaruh terhadap perekonomian dunia.

Di Indonesia, pendidikan merupakan salah satu cara yang ditempuh pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan. Berbagai program dicanangkan pemerintah untuk memperbaiki sumber daya manusia Indonesia melalui pendidikan. Ironisnya, sampai saat ini pelaksanaan pendidikan di negara ini masih setengah-setengah. Di satu sisi, penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan belum dapat menikmati pendidikan. Di sisi lain, penduduk yang berada di sekolah-sekolah yang relatif menengah ke atas, dengan biaya yang mahal, ternyata juga belum mendapatkan kualitas pendidikan yang baik.

Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang baik dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hampir mustahil terpenuhi jika beberapa pihak menuntut untuk mendapatkan pendidikan murah sekaligus berkualitas, terlebih dengan kondisi negara seperti saat ini. Pendidikan murah memang diharapkan penduduk, tetapi jika yang diterima hanyalah biaya pendidikan yang murah tanpa disertai kualitas yang baik, maka pendidikan ini tidak dapat membantu dalam pemberantasan kemiskinan karena selama ini asumsi yang digunakan dalam pembangunan ekonomi terkait dengan pendidikan adalah bahwa pendidikan akan menghasilkan sumber daya manusia yang lebih produktif.

Hal yang dapat dilakukan saat ini adalah mengoptimalkan pendidikan yang ada, baik pendidikan formal maupun informal. Pendidikan formal dengan biaya tinggi sebaiknya disertai dengan peningkatan kualitas pendidikan, baik dalam pelayanan, fasilitas, serta proses pendidikan yang aplikatif, sehingga institusi pendidikan tersebut benar-banar dapat menghasilkan output yang lebih produktif dan bermanfaat bagi masyarakat. Sebalikanya, penduduk yang belum mendapatkan pendidikan formal dapat diarahkan kepada pendidikan informal, dengan biaya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan pendidikan formal, yang berbasis pada potensi ekonomi lokal, sehingga dapat mengurangi kejenuhan tenaga kerja di sektor formal dengan mengurangi penawaran tenaga kerja formal sekaligus membuka permintaan tenaga kerja baru di sektor lain. Dengan demikian, pendapatan dan kualitas hidup penduduk miskin dapat meningkat.

Pemberantasan kemiskinan tidak hanya merupakan kewajiban pemerintah, tetapi juga kewajiban kaum berpendidikan, seperti mahasiswa. Mahasiswa dapat berperan aktif dalam pemberantasan kemiskinan dengan berbagai cara. Mahasiswa dapat menyisihkan sebagian uangnya untuk membantu biaya pendidikan masyarakat miskin melalui organisasi-organisasi di kampus. Cara lain yang dapat dilakukan mahasiswa yaitu dengan memberikan kontribusi riil, seperti memberikan pelatihan saat mahasiswa melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Akan lebih bermanfaat dalam pemberantasan kemiskinan apabila mahasiswa yang telah menjalani KKN tetap peduli terhadap perkembangan daerah yang dibina tersebut. Pendidikan harus melawan kemiskinan.

Hasil Diskusi bulan Februari
Kastrat Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Minggu, 21 September 2008

Politik Informasi

Semua berangkat dari keheranan akan begitu cepatnya perubahan fokus isu yang dibawa media begitu ada isu yang lebih menarik lagi muncul. Meskipun isu sebelumnya belum selesai penanggulangannya.

Hal ini bisa dilihat ketika isu kenaikan BBM yang seharusnya menjadi bahasan panjang dan dialektika yang rumit, namun begitu saja terhapuskan ketika isu FPI dan bentrokannya mencuat di hampir seluruh headline media dalam negeri. Ini seperti sebuah pengalihan fokus agar masyarakat tidak terus menekan pemerintah karena krisis energi dan teralihkan ke hal lain. Pengalihan ini tidak hanya terjadi sekali. Isu kenaikan BBM sebelumnya juga menggunakan peralihan isu Pulau Sipadan-Ligitan yang direbut Malaysia.

Akhirnya muncul banyak pertanyaan mengenai media. Apakah setiap kali media memunculkan isu selalu ada kepentingan yang masuk dan terlibat di situ? Apakah ada skenario di balik itu semua?

Media pada dasarnya memang memiliki visi dan misi tersendiri, sehingga saat muncul suatu realita, proses pengemasan dan penggodokan ide terbungkus dengan visi misi tersebut. Maka tak jarang kita melihat suatu realita digembar-gemborkan besar-besaran di suatu media sementara di media lain isu tersebut hanya tenggelam diantara lautan berita lain.

Media adalah suatu badan yang juga memiliki aspek korporasi, dimana bisnis berperan di situ. Tanpa melakukan bisnis dan komersialisasi, maka media tidak akan banyak bergulir dan melakukan maneuver-manuver persnya.

Demikian pula media kita hari ini. Bahwa kepemilikan saham dan aktivitas korporasi yang mewarnai layar di balik media adalah benar adanya. Dan tentu saja, pengaruh dua actor di balik media ini dicurigai besar terhadap isu-isu yang muncul dalam media itu sendiri. Maka sulit mengungkapkan bahwa media yang ada saat ini adalah netral dan bersih dari semua muatan ideologis. Sulit karena realita mengungkapkan sebaliknya.

Jika memang demikian lalu bagaimana? Padahal media memiliki peran  untuk membentuk opini publik. Dan opini publik itu sendiri dibutuhkan dalam membentuk kepercayaan terhadap Negara. Untuk membentuk Negara yang baik, paling tidak dibutuhkan tiga komponen penting didalamnya: ideology, korporasi, dan media. Ketiga pilar inilah yang selanjutnya akan menopang Negara menjadi sebuah badan yang efektif dan terarah. Sinergitas antara ketiganya itulah yang diharapkan. Namun jika salah satu komponen, media, tidak juga mengikuti track pembangunan yang diharapkan, maka bayangan kejayaan bangsa ini akan semakin jauh saja.

Melihat realita hari ini, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa masih banyak media dalam negeri kita yang berada dalam cengkraman korporasi besar dan deal-deal bisnis yang menggiurkan di balik layar headlinenya. Sehingga mau tak mau, dalam jangka pendek kita tidak bisa berharap banyak akan munculya karakter bangsa yang luhur bermartabat. Yang perlu diperhatikan adalah, meski korporasi dan komersialisasi media itu ada, seharusnya kita selalu memantau apakah media tersebut mmbentuk bangsa dengan opini yang konstruktif ataukah tidak? Jika tidak, maka apa yang harus dilakukan?

penulis : Ashif Aminulloh

editor : Nadia Aghnia

Kajian Stategis BEM KMFT

Kamis, 18 September 2008

Pembatasan BBM Terkait dengan Penerimaan APBN dan Dampaknya pada Masyarakat

Tahun 2008 adalah tahun dimana kelangkaan energi mulai dipermasalahkan. Dari adanya pematokan harga minyak dunia pada kisaran US$90-US$100 hingga berkurangnya produktivitas minyak negeri sendiri yang seharusnya dapat memenuhi permintaan pasar sebagai negara anggota OPEC. Hal tersebut akhirnya menyudutkan kita pada satu permasalahan, yaitu adanya pembatasan penggunaan BBM demi memyelamatkan kondisi perekonomian Indonesia yang sedang terancam defisit anggaran. Pemerintah telah merencanakan regulasi pembatasan penggunaan BBM dengan mengunakan berbagai kebijakan, diantaranya pematokan anggaran APBN untuk BBM yang dibatasi hanya 35,8 juta kiloliter serta adanya penerapan penggunaan SMART Card . Pemerintah mengharapkan bahwa dengan adanya kebijakan tersebut anggaran dapat dihemat sebesar 7- 8 triliun. Namun, setiap kebijakan yang diberlakukan akan selalu menimbulkan sebab dan akibat tertentu. Masyarakat Indonesia memang masih berada di posisi ragu-ragu dalam menanggapi masalah ini, tidak bisa dibilang pro ataupun kontra. Banyak yang mengatakan bahwa dari tahun ke tahun, pemerintah masih belum bisa mendistribusikan kebijakan – kebijakannya secara tepat sasaran; yang pada akhirnya menimbulkan pertanyaan tersendiri terhadap kebijakan- kebijakan yang akan diberikan.
Salah satu kebijakan yang cukup kontroversial adalah diberlakukannya SMART Card. SMART Card adalah inovasi baru yang dicetuskan oleh pemerintah dalam bentuk sebuah kartu yang memiliki IC yang dapat memproses data. Penggunaan kartu ini hampir sama dengan kartu- kartu magnetic lainnya dimana, kartu ini harus dipindai dengan reader untuk membaca data. Akan tetapi, kartu ini berbeda dengan kartu ATM dan sejenisnya dalam pemrosesan data informasinya. Jika pada kartu ATM datanya tersimpan di data base pusat, maka pada SMART Card ini memiliki data sendiri didalamnya sehingga proses data hanya terjadi diantara reader dan card. Rencananya kartu ini akan ditujukan pada mobil pribadi dengan kapasitas mesin dibawah 2000cc dan jatah perharinya sebesar 5 liter bensin bersubsidi, jika jumlah tersebut dirasa masih kurang, maka konsumen harus membeli bensin non subsidi.
Namun ini semua masih dalam tahap perencanaan dan belum adanya keputusan yang jelas mengenai sasaran pastinya, sebagai contoh adalah kendaraan diatas 2000cc yang merupakan kendaraan produksi seperti truk dan bus yang merupakan alat transportasi produksi atau umum, akan tetapi kemungkinan juga dikenai kebijakan SMART Card ini. Hal ini pada akhirnya mengundang berbagai kontroversi dari berbagai pihak baik dari pemerintah sendiri maupun masyarakat yang merasakannya secara langsung. Belum lagi subsidi minyak tanah yang akan dihilangkan dan dikonversi ke dalam gas. Proses konversi itu sendiri membutuhkan waktu yang lama untuk menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang masih tetap ingin menggunakan minyak tanah untuk memasak ketimbang menggunakan gas. Agak terlihat aneh memang, kenapa sektor produksilah yang harus menanggung biaya non-subsidi tersebut. Seharusnya sektor konsumsilah yang harus terus ditekan pengeluarannya agar dapat menghemat BBM secara efektif dan efisien.
Jadi, kalau kita rumuskan secara analisis SWOT( Strength Weakness Opportunity Treat) berdasarkan kasus kebijakan pemerintah mengenai penghematan BBM maka :
Strength yang dimiliki yaitu :
1. Media massa dapat dengan mudah menginformasikan kebijakan –kebijakan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat
Weakness yang dimiliki yaitu :
1. SMART Card membutuhkan waktu dan biaya yang banyak dalam pelaksanaannya
2. SMART Card harus didukung oleh IT dan HR yang memadai, tetapi kenyataannya di Indonesia masih belum tercukupi
3. Budaya masyarakat Indonesia yang boros
4. Kurangnya koordinasi antara pemerintah dan masyarakat dalam implementasi kebijakan tersebut
5. Supply minyak dari lokal masih belum mencukupi demand domestik, sehingga perlu impor
Opportunity yang dimiliki yaitu :
1. Adanya inovasi kendaraan berbahan bakar non-fosil
2. Eksplorasi menemukan titik- titik potensial penghasil minyak baru di Indonesia
3. Inovasi mengenai penambahan jumlah public transportation yang bebas BBM seperti trans Jakarta
Treat yang dimiliki yaitu :
1. Kondisi perekonomian Indonesia yang masih fluktuatif
2. Jumlah kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil terus meningkat
3. Kecurangan akibat ketidakjelasan tender

Pada kesimpulannya terdapat berbagai masalah yang saling tumpang tindih, sehingga ketika kita ingin menyelesaikan satu permasalahan, maka permasalahan lainnya pun harus turut diselesaikan juga karena masalah-masalah tersebut saling berkaitan satu sama lain. Solusi yang disarankan pun seharusnya bisa mmenyelesaikan permasalahan- permasalahan dengan efektif. Analisis lanjut mengenai masalah tersebut yaitu sbb. :
1. Pembatasan penggunaan BBM terkesan condong kepada sektor produksi, maka tingkat produktivitas masyarakat akan menurun secara signifikan karena BBM adalah salah satu faktor produksi utama. Sama halnya dengan yang terjadi pada kendaraan umum. Apabila BBM dibatasi, maka masyarakat dengan berbagai macam kepentingannya akan terhambat mobilitasnya dan tidak dapat menjalankan proses produksi dengan baik, akibatnya perekonomian akan macet.
2. Dalam jangka panjang pembatasan penggunaan BBM dapat memicu terjadinya kenaikan harga berbagai macam barang, karena mahalnya biaya produksi yang harus dikeluarkan dan turunnya jumlah produksi yang mengakibatkan kelangkaan yang berimbas pada naiknya harga barang.
3. Beralihnya pengguna kendaran pribadi ke kendaraan umum. Karena SMART Card hanya diberlakukan pada mobil pribadi dan jatah 5 liter tersebut dirasa sangat kurang maka akan memicu peralihan alat transportasi dari mobil pribadi ke kendaraan umum, namun ini hanya akan terjadi jika adanya peningkatan kualitas pelayanan transportasi umum. Sebab, masih banyak masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa memiliki transportasi sendiri adalah sebuah prestige. Jadi, kedua hambatan tersebut harus dihilangkan secara bersamaan dengan memberikan anjuran atau himbauan kepada masyarakat agar lebih memilih alat transportasi umum.
4. Pengadaan SMART Card hanya akan berlangsung secara efektif apabila biaya, waktu dan informasi yang jelas tercukupi. Setiap SPBU di seluruh Indonesia mau tidak mau harus melakukan renovasi dan itu akan menimbulkan cost yang besar, hal ini juga belum tentu bisa terselesaikan jika manajemen dan sumber daya manusia yang ada tidak mendukung. SMART Card juga tidak akan berfungsi secara efektif apabila target yang ditujukan tidak tepat, oleh karena itu dibutuhkan kontrol antara pihak pemerintah dengan penyedia layanan SMART Card ini. Hal lain yang perlu diperhatukan adalah apakah kendaraan yang diberi SMART Card itu digunakan untuk proses konsumsi atau produksi.
5. Kecurangan akibat adanya ketidakjelasan kesepakatan tender. Proyek pengadaan SMART Card ini yang mekanismenya hanya melalui penunjukan oleh pemerintah dengan alasan efesiensi waktu dikhawatirkan akan memicu terjadinya penyelewengan dana oleh pihak penerima tender maupun oleh pemerintah.
6. Peralihan atau konversi minyak ke gas telah mengundang berbagai kontroversi sehingga perlu kontrol lebih lanjut dari pemerintah dengan turun langsung ke masyarakat dan tetap memberikan kemudahan dalam pendistribusian produk tersebut.
7. Dengan ditemukannya titik-titik potensial penghasil minyak baru, stok minyak untuk lokal diharapkan dapat memnuhi kebutuhan dan dapat dikelola secara mandiri oleh ahli lokal tanpa melibatkan pihak luar yang kemungkinan hanya akan menambah masalah baru.
8. Impor adalah jalan terakhir dalam pemenuhan demand pasar, akan tetapi jikalau produksi lokal dapat ditingkatkan maka kita akan mampu menghemat atau mungkin menjadi swasembada, walaupun dengan pembatasan- pembatasan tertentu. Hal ini pun dapat mengurangi cost yang dikeluarkan oleh pemerintah.
9. Biaya adalah faktor utama kenapa kebijakan pembatasan penggunaan BBM ini diterapkan, maka, diharapkan pemerintah mampu mempertimbangkan kepentingan mana yang harus didahulukan, juga memutuskan apakah dengan deficit agar mampu membantu perekonomian berjalan, ataukah menghambat perekonomian dengan mengusahakan agar tidak deficit.

Pada kesimpulannya, kebijakan pembatasan penggunaan BBM ini mengundang banyak permasalahan yang perlu ditangani secara kontinu dan berkesinambungan. Pemerintah harus memberikan seluruh informasi mengenai kebijakan ini secara jelas dan terbuka kepada seluruh pihak, dan jika hal itu terpenuhi, maka pihak- pihak yang terkait diharapkan mampu memberikan feedback yang baik dan solutif dalam pelaksanaan. Penerapan SMART Card juga bukanlah sebuah hal mudah yang bisa dilakukan oleh pemerintah, karena masih banyak lag yang terjadi diantara pihak-pihak yang terkait dengan inovasi ini baik secara budaya ataupun teknologi. Oleh karena itu, penerapan SMART Card ini harus dilakukan secara bertahap agar dapat mendapatkan benefit dan tidak membuang- buang cost dengan jumlah besar. Perhatian terhadap sektor transportasi umum yang merupakan penopang kebijakan pembatasan BBM ini juga harus diperhatikan. Sementara untuk pihak yang menjadi supplier yaitu Pertamina, diharapkan cukup mampu mengontrol kondisi institusinya agar dapat mengantisipasi masalah intern yang timbul dan mampu menghilangkan masalah korupsi yang telah dialaminya selama beberapa dekade.