Selasa, 28 Juli 2009

Optimalisasi Pengelolaan SDA Kelautan Untuk Membangun Kemandirian Bangsa

Indonesia, merupakan salah satu negara bahari terbesar di dunia dan memiliki berbagai macam sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang efektif dalam pembangunan bangsa Indonesia.
Fakta bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 adalah sebuah ironi jika pemerintah tidak memberikan perhatian yang memadai terhadap sektor ini. Selain itu, 22 persen dari total penduduk Indonesia mendiami wilayah pesisir. Ini berarti bahwa daerah pesisir merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi nasional melalui kegiatan masyarakat seperti perikanan laut, perdagangan, budidaya perikanan (aquakultur), transportasi, pariwisata, pengeboran minyak dan sebagainya.

Selama ini sektor kelautan belum memberikan kontribusi yang optimal terhadap kegiatan pembangunan. Pada tahun 1997, kontribusi sumber daya sektor kelautan (kontribusi kegiatan pembangunan kelautan seperti perikanan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, transportasi, dan lainnya) terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya 12,4 persen (Rp 56 triliun). Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan potensi pembangunan kelautan yang dimiliki. Dibandingkan dengan negara-negara seperti Thailand, Korea Selatan, RRC, Jepang dan Denmark yang luas lautnya jauh lebih kecil dari Indonesia kontribusi sekor kelautan mereka terhadap PDB-nya sudah di atas 30 persen.

Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia masih melimpah dan belum dieksploitasi secara optimal. Potensi lestari sumber daya perikanan laut mencapai 6,6 juta ton dan baru termanfaatkan sekitar 60 persen. Lebih rinci, potensi sumber daya perikanan ini terdiri dari ikan pelagis 3,5 juta ton/tahun, ikan demersal 2,5 juta ton/tahun, tuna 166,0 ribu ton/tahun, udang 69,0 ribu ton/tahun, cakalang 275,0 ribu ton/tahun, dan ikan karang 48,0 ribu ton/tahun. Sumbangan sektor perikanan terhadap sektor pertanian adalah sekitar 10,3 persen per tahun dengan tingkat pertumbuhan yang positif.
Data menunjukkan bahwa sektor perikanan mampu memberikan kontribusi sebesar 2 persen terhadap PDB tahun 1992 dan sampai pada kuartal III tahun 1998, sektor ini telah menyumbang sekitar 1,87 persen. Sektor ini juga memberikan kesempatan kerja bagi lebih dari 4,3 juta nelayan dan petani nelayan serta menyediakan pendapatan tambahan bagi penduduk di wilayah pesisir Indonesia.

Berdasarkan jenisnya, sumberdaya kelautan dapat dibagi menjadi 4 macam, yakni:
1. sumberdaya dapat pulih
2. sumberdaya tidak dapat pulih
3. sumber energi
4. jasa – jasa lingkungan kelautan

(1) Sumberdaya pulih
Potensi sumberdaya dapat pulih terdiri dari sumberdaya ikan tangkap, perikanan budidaya dan bioteknologi kelautan. Dengan luas laut 5,8 juta km2, perairan Indonesia diperkirakan memiliki potensi lestari ikan laut sebesar 6,4 juta ton per tahun.

Selain potensi perikanan tangkap, Indonesia memiliki potensi perikan budidaya yang cukup besar. Berdasarkan hitungan sekitar 5 km dari garis pantai kea rah laut, potensi lahan kegiatan budidaya laut diperkirakan sekitar 24,53 juta ha. Komoditas – komoditas yabf dapat dibudidayakan antara lain: ikan kakap, kerapu, tiram, kerang darah,kerang mutiara dan rumput laut. Pada tahun 2000, kegiatan budidaya laut mencapai produksi sebesar 994,962 ton dengan nilai sebesar 1,36 triliun berdasarkan nilai pada tingkat produsen (Statistik Budidaya Perikanan,2001)

Indonesia juga memiliki potensi pengembangan budidaya tambak di daerah hutan bakau. Menurut Ditjen Perikanan pemanfaatan pengembangan tambak baru mencapai 40 persen dari potensinya atau 344,759 ha. Komoditas – komoditas potensial yang dapat dibudidayakan adalah: udang windu, udang putih, udang api – api, udang cendana, ikan bandeng dan ikan nila.

Biotekhnologi kelautan dapat memberikan kontribusi ekonomi yang besar untuk pembangun bangsa Indonesia. Berbagai bahan bioaktif yang terkandung pada biota perairan laut seperti omega – 3, hormon, protein dan vitamin memiliki potensi yang sangat besar bagi penyedian bahan baku industri farmasi dan kosmetik. Diperkirakan lebih dari 35.000 spesies biota laut memiliki potensi, sementara yang dimanfaarkan baru 5.000.

(2) Sumberdaya tidak dapat pulih
Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi seluruh mineral dan geologi. Berdasarkan data geologi, diketahui bahwa Indonesia memiliki 60 cekungan potensi yang menganding minyak dan gas bumi. Dari 60 cekungan tersebut diperkirakan dapat menghasilkan 84,48 milyar barel minyak, namun 9,8 milyar barel yang diketahui pasti, sedangkan 74,68 milyar merupakan kekayaan yang belum dimanfaatkan.

Meskipun cadangan minyak dan gas bumi Indonesia cukup besar, namun cadangan ini tersebar pada lokasi yang cukup jauh dari pusat konsumen dan jaringan pipa gas. Oleh karena itu intensifikasi kegiatan – kegiatan eksplorasi dan eksploitasi ladang – ladang minyak, penambangan sumber mintak, serta penguasaan energi penambangan di lepas pantai perlu segera ditingkatkan.

(3) Energi Kelautan
Energi kelautan merupakan energi non-konvensional. Keberadaan sumberdaya ini dimasa yang akan dating semakin signifikan manakala energi sumber dari BBM semakin menipis. Jenis energi kelautan yang berpeluang dikembangkan adalah ocean thermal energy conversion (OTEC), energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus, konversi energi dari perbedaan salinitas.

Perairan Indonesia adalah suatu wilayah perairan yang sangat ideal untuk mengembangkan sumber energi OTEC. Hal ini dimungkinkan karena OTEC didasari pada perbedaan suhu air laut permukaan dengan suhu air pada kedalaman minimal 200C. Saat ini pilot plant OTEC sedang dikembangkan di pantai utara Pulau Bali.

Sumber energi kelautan lainnya, antara lain energi yang berasal dari perbedaan pasang surut dan energi yang berasal dari gelombang. Hal ini sedang dikembangkan oleh BPPT bekerja sama dengan Norwegia di Pantai Baron, D.I Yogyakarta. Hasil dari kegiatan ini merupakan masukan yang penting dan pengalaman yang bergunadalam upaya mempersiapkan sumberdaya manusia dalam memanfaatkan energi non-konvensional.

(4) Jasa – jasa Kelautan
Pemanfaatan sumberdaya kelautan yang marak terjadi dewasa ini adalah pengembangan pariwisata berbasis kelautan (wisata bahari) bahkan hingga menjadi produk pariwisata yang menarik dunia internasional. Indonesia dengan Negara kepulauan memiliki banyak sekali titik – titik penyelaman (dive spot) yang dapat dijadikan referensi untuk wisata bahari, mulai dari kepulauan Raja Ampat di Irian Jaya, Kepulauan Wa-Ka-To-Bi di Sulawesi, Kepulauan Karimunjawa di Jawa Tengah dan masih banyak lainnya. Dengan keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan yang diperkirakan sekitar 263 jenis, Indonesia pada tahun 2001 mampu menyumbang US$ 5.428 milyar dengan pariwisata baharinya untuk GDP.

Untuk membangkitkan dunia pariwisata, perlu upaya serius dari setiap elemen masyarakat Indonesia untuk menciptakan suasana yang kondusif sehingga memberikan kenyamanan dan ketenangan di seluruh kawasan Indonesia. Selain itu pelu memperhatikan kekhasan, nilai jual dan peningkatan mutu komoditi pariwisata, sehingga dapat menari masyakarat internasional untuk berkunjung ke Indonesia. Tak hanya itu, jasa lingkungan kelautan masih memerlukan sentuhan jasa transportasi laut (perhubungan laut) agar potensi ini dapat dimanfaatkan secara optimal.


Sangat banyak potensi sumberdaya kelautan Indonesia yang dapat dimanfaatkan demi kemajuan bangsa Indonesia, berbagai studi ilmu dapat memanfaatkannya, termasuk Ekonomi. Tetapi itu semua belum optimal di manfaatkan, padahal saat ini tercatat ada 59 perguruan tinggi di Indonesia yang menyelenggaraan pendidikan di bidang perikanan dan ilmu kelautan, khususnya. Sebelas diantaranya berada di bawah Departmen Kelautan dan Perikanan (DKP) RI dan 48 lainnya ada di bawah Departmen Pendidikan Nasional (Depdiknas).

Salah satu hal yang dapat dikembangkan untuk optimalisasi potensi kelautan dapat dengan cara pengelolaan berbasis komunitas local. Cara ini dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, juga membawa efek positif secara ekologi dan social.
Kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan pengelolaan sumberdaya kelautan dan terdapatnya akuntabilitas otoritas local merupakan prasyarat utama demi tercapainya pengelolaan sumberdaya kelautan dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi (Ribbot,2002). Kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelautan terdapat dalam pasal 18 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004.


Pembangunan sektor perikanan dan kelautan di masa mendatang akan menghadapi sejumlah tantangan, salah satunya terdapat pada cara desentralisasi yang disebutkan diatas karena dapat terjadi over eksplorasi juga kerusakan tanpa ada pendekatan yang baik, tangkap lebih (over-fishing), penangkapan secara illegal, penurunan kualitas sumber daya dan habitat, dan polusi mengancam sebagian besar wilayah pesisir di Indonesia yang pada gilirannya dapat mempercepat penurunan ketersediaan ikan pesisir dan penurunan hasil tangkapan ikan oleh masyarakat nelayan kecil yang bermukim di wilayah pesisir. Dan yang terberat adalah perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, karena menganggu kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan serta menimbulkan stress terhadap ekosistem bawah laut.

Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan pengeksploitasian sumber daya wilayah pesisir dan lautan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat diperlukan suatu strategi dan pendekatan pengelolaan yang terpadu dan menyeluruh (integrated and comprehensive management) yaitu dengan melibatkan semua pihak terkait (stakeholders) dalam seluruh proses pengelolaan mulai dari persiapan, perencanaan sampai dengan pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi. Kita harus bekerja keras, berdedikasi semakin optimal, mengerahkan potensi potensi manusia untuk meningkatkan potensi kelautan Indonesia, termasuk didalamnya dari kalangan akademisi yang memiliki peran penting dalam memberikan ide – ide segar dalam pembangunan kelautan dan perikanan di nusantara ini. Para sarjana dari ilmu kelautan dan bidang perikanan juga sangat diharapkan mengembangkan bidang pekerjaan sesuai prodinya agar sumberdaya manusia dapat tepat sasaran dan mampu mengembangkan potensi kelautan Indonesia. Pembentukan Department Eksplorasi Laut dan Perikanan patut didudukung dan tetap diawasi.

Departmen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada

Sabtu, 04 April 2009

Pasar tradisional, masihkah mendapat perhatian?

Banyaknya pasar modern yang muncul di Indonesia, tidak hanya di kota metropolitan tetapi juga telah merambah sampai ke kota kecil di tanah air. Sangat mudah menjumpai minimarket, supermarket, bahkan hipermarket di sekitar tempat tinggal kita. Tempat – tempat tersebut menjajikan tempat belanja yang nyaman dengan harga yang tidak kalah menariknya. Apalagi masyarakat Indonesia cenderung konsumtif sehingga dengan cepat pasar modern berkembang. Pasar tradisional pun mulai tergoyah keberadaannya.

Pasar modern mulai masuk ke Indonesia tahun 1980, pada saat itu perusahaan ritel Seven-Eleven asal Jepang merupakan waralaba pertama yang masuk Indonesia, namun tidak berkembang dan mati. Pada tahun 1990-an masuk kembali peritel asing dengan format Hipermarket, hal ini mengubah cara pandang konsumen Indonesia terhadap gerai ritel modern.

Semenjak diterimanya pasar modern(ritel) pasar tradisional-pun semakin mengkhawatirkan keberadaannya, pertumbuhan pasar tradisional menyusut 8,1% setiap tahunnya (sedangkan pasar modern berkembang sebesar 31,4% per tahun) bahkan di Jakarta, setiap tahunnya 400 kios tutup.

Sebelum melangkah lebih jauh, tak bijak bila kita tak menganalisa kedua jenis pasar tersebut. Pasar tradisional memiliki kekuatan harga yang relatif lebih murah dan bisa ditawar, relatif lebih dekat dengan pemukiman dan memberikan banyak pilihan barang segar. Kelebihan lainnya adalah kontak sosial yang dilakukan oleh pembeli dan penjual pada saat transaksi yang tidak kita jumpai di pasar modern. Proses tawar menawar, hubungan sosial antara penjual dan pelanggan, simulasi pasar bebas yang sesungguhnya, hal ini merupakan salah satu budaya yang patut dipertahankan.

Sedangkan kelemahannya, pasar tradisional yang lebih tepat disebut wet market terkenal dengan kondisi tempat yang kumuh, kotor, becek, bau menyengat, terlalu padat lalu lintas pembeli, copet berkeliaran dan berbagai ketidaknyamanan lainnya. Belum lagi gembar-gembornya media yang menyoroti kasus produk yang dijual di pasar tradisional menggunakan zat kimia berbahaya, ketidak sesuaian timbangan barang, maraknya daging oplosan,daging ‘tiren’, dan daging “glonggongan” dan trik-trik tidak sehat lainnya dalam bidang perdagangan. Berbagai hal diatas menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap pasar tradisional turun.

Jika dibandingkan dengan pasar modern, memang begitu banyak hal yang disuguhkan pasar modern kepada konsumen, bukan hanya presties tapi juga memenuhi kebutuhan akan rasa nyaman, aman, tertib, pilihan yang banyak, kualitas barang yang higienis, dapat membayar dengan menggunakan kredit, bahkan jika tidak dapat datang ke supermarket tersebut konsumen dapat menelfon dan memesan barang belanjaannya maka akan diantar sampai tujuan.

Pelan tapi pasti, pasar tradisional kian terpinggirkan. Pedagang yang tidak mampu bertahan akhirnya harus gulung tikar. Padahal kita semua tahu, putaran roda ekonomi dalam transaksi pasar tradisional yang melibatkan pedagang kecil hingga unit-unit usaha berskala menengah merupakan sinergi mata rantai yang menopang basis ekonomi rakyat. Sebagian besar usaha ekonomi yang menghidupkan urat nadi pasar tradisional berbasis pada inisiatif usaha rakyat. Pasar tradisional merupakan sentra penggerak kehidupan masyarakat kita yang mayoritas menggaantungkan hidupnya pada usaha berskala kecil-menengah.

Secara makro, pasar tradisional berperan besar dalam roda perekonomian nasional. Dengan mayoritas produk dalam negeri, pasar tradisional merupakan penggerak “GDP riil”. Berbeda dengan ritel yang lebih mengedapankan faktor harga dalam pemilihan produknya tanpa mempedulikan asal produk tersebut yang akhirnya berujung pada keuntungan pengusaha besar dan negera maju. Memang hal ini tak bisa disalahkan, namun jika hal ini terus berlanjut, Indonesia hanya akan menjadi negara konsumen produk asing dan ketimpangan ekonomi yang terjadi akan sangat tinggi.

Paling tidak ada dua hal yang membuat eksistensi pasar tradisional kian terpuruk. Pertama, pemerintah hingga kini terlihat kurang sigap dalam membatasi pertumbuhan pasar modern yang tidak sehat. Di era otonomi daerah, pemerintah pusat kian sulit mengontrol kebijakan pemerintah daerah menyangkut keberadaan pasar modern. Kebijakan pertumbuhan pasar modern berada di tangan kepala daerah tanpa ada regulasi pengontrol yang mengawal kebijakan kepala daerah. Regulasi pembatasan yang telah dibuatpun menjadi ompong karena tak berlaku mundur. Demi mengejar target pendapatan asli daerah (PAD), pemerintah daerah dengan bebasnya mengijinkan berdirinya ritel dan pasar modern dengan kuantitas dan tata letak yang sangat mengancam keberadaan pasar tradisional. Tengok saja di Jakarta, pengelolaan pertumbuhan pasar modern begitu tidak terkontrol, tercatat lebih dari 50 outlet pasar modern ( dengan dominasi ritel prancis) berdiri megah tanpa menghiraukan tata kota dan keberadaan pasar tradisional. Mungkin pemerintah berdalih bahwa itu adalah hasil dari perdagangan bebas dan merupakan bentuk investasi asing yang menguntungkan, namun silahkan tengok Singapura, di negara yang bisa kita sebut surga belanja hanya terdapat 1 outlet ritel asal Perancis. Persaingan usaha benar-benar dijaga di negeri tersebut. Pemerintah Indonesia lupa bahwa nasib para pengusaha kecil dan pedagang pasar tradisional seharusnya menjadi prioritas untuk dilindungi.

Sedikit menyoroti hal lain, industri ritel nasional-pun menjadi bulan-bulanan industri ritel asing. Akhirnya banyak ritel nasional yang bangkrut atau diakuisisi oleh ritel asing. Sekali lagi kita dapat berdalih itu adalah konsekuensi perdagangan bebas, dan karena ritel nasional kalah bersaing karena bekerja kurang efisien. Tapi mengapa pemerintah tak pernah memberi kesempatan industri nasional untuk berkembang. Wajar jika ritel asing lebih efisien, mereka telah berdiri dan berkembang lebih dulu di negera asalnya, mereka cukup mendapatkan proteksi di negara asalnya sehingga menjadi eficien multi-national company yang bisa ekspansi ke negara lain. Wajar jika bayi Indonesia kurang gizi yang baru belajar berjalan kalah cepat berlari dengan pelari cepat Perancis yang pada masa mudanya selalu diberi ransum. Lalu apakah pemerintah akan diam saja melihat hal itu?

Kedua, citra pasar tradisional yang buruk di mata masyarakat. Seperti sudah dijelaskan diatas, terdapat berpuluh-puluh alasan dan fakta negatif mengenai pasar tradisional. Tak dapat disangkal, masih ada oknum-oknum pedagang tak bertanggung-jawab yang berdagang dengan cara yang tidak sehat, belum lagi media yang selalu latah dengan berita-berita tersebut yang sayangnya memang tak dapat disalahkan. Pemerintah memang berusaha memperbaiki citra pasar tradisional, namun ternyata hanya berujung pada relokasi paksa dan penggusuran pasar. Sementara penyerahan pengelolaan kepada pihak swasta sering kali berujung pada konflik antara pedagang dan pengelola. Pemerintah selalu berpikir praktis dan pragmatis dalam menyelesaikan persoalan ini. Dalam perbaikan citra, bentuk, dan tata kelola pasar tradisional diperlukan pendekatan ethnografi dan sosial budaya yang lebih kompleks dan “bersahabat” dengan masyarakat pasar tradisional. Memang sulit dan membutuhkan kerja dan waktu yang lama, namun jika pemerintah serius dalam melakukannya perbaikan citra dan pengelolaan pasar tradisional bukan sekedar impian

Faktual, negeri ini membutuhkan regulasi pasar yang pro-wet market. Pengaturan pembagian zonasi ruang usaha, pola kemitraan, mekanisme perlindungan, dan alokasi distribusi barang menyangkut pasar tradisional harus menjadi bagian integral dari regulasi pasar. Peluang usaha yang adil dan proporsional bagi seluruh lapisan masyarakat harus tercermin disana. Kita seharusnya bisa mencontoh Singapura, yang mampu menata dengan baik pasar tradisionalnya, hidup berdampingan dengan pasar modern, tanpa harus saling menegasikan.

Kita tidak mengharapkan kehadiran pasar modern menjadi sinyal bagi peminggiran pasar tradisional yang menjadi tumpuan hidup dari mayoritas masyarakat kita yang miskin. Pasar modern harus hadir sebagai penanda bagi kemajuan ekonomi bangsa, yang berimbas positif bagi tumbuhnya usaha rakyat, bukan malah menggusur mereka.

Solusi yang dibutuhkan untuk mempertahankan eksistensi pasar tradisional dapat dilakukan dengan lima cara, yaitu:

Pertama adalah pengaturan tata kelola wilayah dimana pasar tradisional tidak boleh dikepung oleh pasar modern. Pasar modern harus ditempatkan di kawasan baru dan berada di luar pemukiman. Memang sudah ada regulasi yang mengatur jarak minimal pasar dsb, namun sekali lagi, peraturan tersebut tidak berlaku mundur. Sedangkan sudah terlanjur banyak pasar modern yang berdiri. Memang perlu ketegasan dan keberanian pemerintah dalam menyikapi permasalahan ini.

Kedua adalah substansi pengaturan waktu pelayanan dimana pasar-pasar pagi yang menjadi tradisi pasar tradisional tidak boleh diganggu oleh pasar modern. Masalah ini prinsipnya dilakukan berbagi waktu, paling tidak ada perbedaan dalam waktu pelayanan.

Ketiga adalah pengaturan kewajiban perusahaan besar untuk memberikan ruangannya sekitar 20 persen untuk usaha kecil dan menengah. Ini sudah pernah dilaksanakan oleh pemerintah DKI tetapi perlu dijalankan lebih serius lagi.

Keempat adalah pengaturan untuk membangun kemitraan antara yang besar dan yang kecil agar keduanya saling membantu satu sama lain. Kemitraan ini sudah banyak dilakukan di berbagai bidang dan bisa juga dilaksanakan untuk sektor perdagangan. Namun untuk teknisnya diperlukan perhatian yang lebih.

Kelima adalah dapat dengan spesifikasi pasar sehingga masing – masing pasar dapat memiliki ke-khas-an, seperti contohnya pasar tanah abang (Jakarta) yang menjual barang – barang grosir, pasar beringharjo (Yogyakarta) yang menjual bermacam – macam batik dan pasar gede bage (Bandung) yang menjual pakaian – pakaian bekas. Walalupun memang tak bisa diterapkan pada semua, dan tak harus berupa spesialisasi produk yang dijual, namun memberikan nilai lebih dan ke-khas-an pada suatu produk(dalam hal ini pasar) dapat diterapkan dan biasanya berdampak baik.

Sangat arif dan bijaksana jika pemerintah tidak hanya cakap dalam menarik setoran retribusi, tapi juga mau memikirkan kelangsungan hidup pasar tradisional. Tanpa upaya serius pemerintah melindungi eksistensi pasar tradisional, kecil kemungkinan pasar rakyat ini bisa bertahan hidup di tengah iklim persaingan usaha yang kian ketat dan tak toleran.

Departemen Kajian Strategis

Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Senin, 02 Februari 2009

PENGANGGURAN AKIBAT KRISIS GLOBAL

ANALISA PENGANGGURAN DI INDONESIA
AKIBAT KRISIS GLOBAL


Krisis Global dan Bom Waktu

Tahun 2008 telah berlalu,begitu banyak peristiwa besar yang terjadi. Krisis global merupakan salah satu yang terbesar. Dimulai dengan kasus subprime mortgage yang memukul Amerika Serikat, terbongkarnya kebrobokan finansial dunia dan mencapai titik puncak saat jatuhnya harga saham hampir diseluruh dunia termasuk di Indonesia. Dampak langsung di Indonesia adalah ditariknya investasi hot money di beberapa perusahaan di Indonesia yang menyebabkan perusahaan tersebut colaps. Dampak yang lain adalah menurunnya ekspor Indonesia yang mencapai 20-30%(Replubika,29/01/09) akibat turunnya tingkat konsumsi di negara-negara importir yang terkena dampak krisis tersebut. Namun dampak terbesarnya ternyata masih tersembunyi. Bagai Bom waku yang setiap saat dapat meledak, dampak terbesar dan yang akan paling kita rasakan adalah gelombang pengangguran yang akan melonjak tinggi.
Sistem kontrak dan pesanan yang dipakai dalam perjanjian ekspor impor merupakan salah satu penyebab belum terjadinya pengangguran secara besar-besaran. Kontrak atau pesanan yang memang harus ditepati tentu akan memaksa importir untuk tetap membeli barang impor, dan tentu saja merupakan alasan mengapa perusahaan pengekspor masih memperkerjakan pegawainya. Namun apa jadinya jika kontrak tak lagi diperpanjang akibat daya beli negara pengimpor turun? Tentu saja perusahaan pengekspor mau tak mau harus melakukan PHK terhadap pegawainya. Menurut Depnakertrans sejak September hingga Januari ini tercatat 27,578 orang telah di-PHK, sedangkan 24.817 lainnya terancam untuk di-PHK, sebanyak 11.993 karyawan telah dirumahkan dan 19.191 lainnya kemungkinan besar akan menyusul. Namun jangan lupa, yang tercatat di data ini hanya tenaga kerja yang telah tercatat oleh Depnakertrans, padahal pengangguran paling besar justru akan menimpa pegawai kontrak dan pekerja yang tak tercatat. Namun apakah cuma karena sistem kontrak saja sehingga gelombang pengangguran masih belum terasa signifikan? Kemungkinan besar peran politik juga cukup berperan dalam meredam arus pengangguran tsb. 2009 adalah tahun pemilu dan tentu saja para elite politik berusaha untuk tetap menjaga stabilitas sosial ekonomi agar pesta demokrasi yang akan digelar tetap berjalan dengan baik sekaligus menjadikannya alat politik untuk menjaga pamor mereka. Namun apakah peredaman ini akan berdampak baik? Dikhawatirkan dengan peredaman ini justru menjadi bom waktu, karena perusahaan dipaksa untuk tetap memperkerjakan karyawannya walaupun sebenarnya keadaan mengharuskan untuk bertindak sebaliknya. Berbagai cara telah ditempuh oleh perusahaan untuk menghindari PHK karyawannya, antara lain pengurangan jam kerja, penghapusan lembur, hingga lay off karyawannya. Namun jika hal ini tak segera diantipasi atau perekonomian dunia tak kunjung membaik maka mungkin ini akan berdampak serius terhadap stabilitas sosial ekonomi Indonesia.

Tentang Pengangguran

Pengangguran sebenarnya bukan masalah baru di Indonesia. Pengangguran sendiri, adalah suatu kondisi dimana terjadi kelebihan jumlah pekerja yang ditawarkan dibandingkan permintaan. Jenisnya sendiri terbagi menjadi pengangguran friksional, struktural, siklis,dan musiman.Dan kondisi pengangguran yang akan kita alami adalah pengangguran siklis. Karena pengangguran ini disebabkan adanya imbas dari naik turunnya kondisi ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah dari penawaran. Memang selalu tejadi trade-off antara pengangguran dengan tingkat inflasi, seperti yang tergambarkan jelas dalam Kurva Philip. Dimana saat angka pengangguran ingin diturunkan, angka tingkat inflasi akan meninggi,dan begitupun sebaliknya, disaat kita ingin menurunkan tingkat inflasi , angka pengangguran menjadi tinggi. Diperlukan keadaan equilibrium yang sesuai antara kedua trade-off di atas, dan tentu saja krisis global ini akan mengganggu kestabilan kurva tersebut. Selain itu di Indonesia sendiri terjadi miss antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, ketidak mix and match-nya tenaga kerja dengan pendidikan. Misalnya saja, perusahaan banyak membutuhkan tenaga ahli yang bergerak dibidang mesin namun justru lebih banyak orang memilih untuk belajar ilmu kedokteran atau ekonomi yang realitanya, di kota-kota besar telah terjadi surplus tenaga kerja dalam bidang tersebut. Paradigma-paradigma seperti inilah yang harusnya diubah dan lebih diarahakan oleh pemerintah.

Sektor yang Terpukul

Menurut Apindo DKI, dalam beberapa bulan terakhir ini sektor yang paling banyak melakukan PHK adalah industri otomotif, elektronik dan perhotelan. Namun kami perkirakan bahwa industri kerajinan dan mebel yang konsumennya adalah masyarakat luar negeri khususnya Amerika Serikat-lah yang paling banyak akan melakukan PHK. Selain itu pegawai industri inilah yang paling rawan terhadap PHK karena kebanyakan adalah pegawai kontrak Padahal jenis industri ini adalah UMKM yang sangat penting dalam menunjang perekonomian masyarakat kecil sekaligus industri yang banyak menyerap tenaga kerja. Namun ternyata UMKM jugalah yang paling resist terhadap dampak dari krisis global. UMKM khususnya yang bergerak di tingkat lokal tidak akan terpengaruh oleh carut-marutnya stock-exchange di dunia, tidak akan terpengaruh oleh menurunnya impor dari negara lain, dan tentu saja tak terpengaruh oleh intervensi politik.

Solusi

Solusi untuk menanggulangi dan mengantisipasi pengangguran ini tak lain harus dengan memberikan stimulus bagi dunia usaha, sehingga dapat menyerap tenaga kerja dan mencegah adanya PHK. Peningkatan investasi dan tingkat konsumsi yang produktif harus maju beriringan sehingga produksi dapat meningkat. Kebijakan-kebijakan pemerintah juga harus mendukung baik kebijakan dalam maupun luar negeri.
Beberapa kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia perlu diacungi jempol. Penurunan BI-Rate bertahap hingga mencapai angka 8.75 % adalah keputusan strategis yang tepat, karena akan menjadi stimulus bagi pasar untuk meningkatkan tingkat konsumsi dan mendorong iklim usaha yang kondusif. Moment penurunan BI-rate ini juga cukup tepat mengingat tingkat inflasi Indonesia saat ini yang relatif rendah. Terlepas dari berbagai pro-kontra, penurunan harga BBM juga membantu perusahaan mengurangi cost of production-nya sehingga keuntungan yang diperoleh dapat untuk menjaga kelangsungan kerja karyawannya. Pemerintah juga berencana menaikkan anggaran penanggulangan pengangguran dari 1.1 Triliun menjadi 1.2 Triliun(Replubika 29/01/09), namun belum terealisasi karena harus menunggu persetujuan DPR.
Solusi yang dapat ditawarkan adalah Diversivikasi negara tujuan ekspor. Selama ini kita terfokus untuk melakukan ekspor ke Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya, sedangkan negara-negara lain kurang mendapat perhatian. Karena itu perlu adanya diversivikasi terhadap negara tujuan ekspor sehingga kekacauan perekonomian yang melanda suatu negara tak akan berdampak terlalu besar terhadap negara kita (ingat falsafah Manajemen Keuangan,”jangan menaruh telur dalam satu keranjang”). Beberapa negara seperti Arab Saudi merupakan salah satu pasar yang potensial bagi ekspor kita, namun tetap saja perlu penelitian serta pengkajian lebih lanjut mengenai negara tujuan ekspor yang lain.
Beberapa stimulus ekonomi seperti penurunan tingkat pajak tentu akan menjadi angin segar bagi dunia industri, namun hal ini juga perlu diimbangi dengan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, reformasi sistem pajak tentu akan membantu . Jadi tingkat pajak turun namun secara kuantitas naik, sehingga pemerintah tidak akan mengalami penurunan penerimaan dan jika berhasil justru akan meningkatkan penerimaan. Dengan penerimaan yang tinggi dan belanja pemerintah yang diarahkan ke sektor yang produktif tentu akan mengakselerasi laju perekonomian.
Perbaikan dan reformasi sistem birokrasi tak dapat dielakkan jika ingin iklim usaha dapat kondusif. Pemerintah harus menjadi mitra usaha dan stakeholder yang baik bagi pebisnis. Perbaikan pelayanan birokrasi dan mempermudah perizinan usaha adalah salah satu langkah konkret yang dapat mulai dijalankan Pemberantasan korupsi dan stabilitas ketersediaan energi juga merupakan hal-hal yang harus segera dibenahi.
Penguatan industri kebutuhan primer terutama pertanian juga salah satu sarana untuk menjamin ketahanan perekonomian Indonesia dari gejolak ekonomi dunia. Karena industri inilah yang paling tahan terhadap naik turunnya demand , kebutuhan primer bersifat inelastis sehingga turunnya tingkat konsumsi di negara importir tak akan terlalu berpengaruh karena mereka tetap akan mengimpor kebutuhan pokok dari Indonesia. Pengembangan sektor riil dan UMKM tentu juga akan membantu mengatasi pengangguran. Namun yang terpenting adalah kerjasama dari semua pihak, tanpa kerjasama hal-hal diatas akan sulit diwujudkan dan pengangguran tak dapat dielakkan. Semoga Indonesia dapat terhindar dari krisis ini dan tingkat pengangguran dapat ditekan serendah mungkin.

Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada