Rabu, 24 September 2008

Menuju Ketahanan Pangan Indonesia Seutuhnya : Apakah Hanya Sekedar Impian??

Pada tahun 2008 ini, Bangsa Indonesia akan memperingati 100 tahun kebangkitan nasional yang terhitung sejak berdirinya Budi Utomo pada tanggal 1 Mei 1908. Di tahun ini pula, Indonesia sedang dihadapkan pada permasalahan yang tidak hanya sekedar menyangkut hajat hidup orang banyak tetapi sesuatu yang menjadi kebutuhan dasar setiap manusia. Permasalahan tersebut adalah krisis pangan!!

Krisis pangan dalam hal ini tidak harus selalu identik dengan kelangkaan stok pangan di suatu wilayah negara, tetapi juga bisa diartikan ketidakmampuan rakyat atau penduduk suatu negara untuk membeli bahan pangan guna memenuhi kebutuhan pokok mereka sebagai manusia karena harga pangan yang telah melambung tinggi. Sebuah tanda tanya besar untuk Indonesia, yang pernah dijuluki Negara agraris, sampai mengalami kondisi seperti ini.

Kondisi seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi telah menjadi masalah global. Hanya saja imbasnya dalam sosial ekonomi di tiap negara berbeda-beda tergantung ketahanan atau kekuatan di negara tersebut. Indonesia adalah salah satu negara yang terpuruk akibat kondisi seperti ini.

Ada sebuah penelitian dari LIPI bahwa krisis pangan yang diprediksi pada 2020 bisa terjadi lebih cepat. Salah satu indikator itu, antara lain mulai menurunnya produksi pertanian secara drastis tiap tahun dan tingkat konsumsi masyarakat yang meningkat seiring pertambahan jumlah populasi penduduk. Di sisi lain, tidak ada proteksi terhadap kebijakan impor pangan dan tidak ada insentif bagi produsen pangan dalam negeri.

Para ekonom dan pengamat berpendapat bahwa kenaikan komoditas-komoditas pangan di pasar internasional disebabkan oleh beberapa hal seperti meroketnya harga minyak dunia, banyak petani yang menanam tanaman bahan baku pembuatan biofuel sehingga terjadi pergeseran pola tanam, dan lain sebagainya. Alhasil, negara-negara (termasuk Indonesia) yang masih mengandalkan impor untuk mencukupi kebutuhan pangan nasionalnya langsung kalang kabut karena otomatis akan banyak devisa negara yang keluar pada pos tersebut. Pertanyaan berikutnya adalah kenapa Indonesia masih sangat tergantung dengan impor???

Sejak krisis tahun 1998 sebenarnya ketidakmampuan Indonesia memenuhi kebutuhan pangan sudah terlihat. Kenyataan menyakitkan, negara ini tiba-tiba menjadi pengimpor bahan pangan terbesar di dunia.Dalam setahun pernah mengimpor beras 2 juta ton, jagung lebih dari 1,5 juta ton, kedelai lebih dari 1,2 juta ton, kacang tanah 0,8 juta ton, kacang hijau 0,3 juta ton, gula pasir 1,6 juta ton (nomor dua terbesar di dunia setelah Rusia), buah-buahan sekitar 167 ribu ton, sayuran 265 ribu ton, daging setara 400 ekor sapi, susu dan hasil susu 99 ribu ton.

Dalam sebuah kesempatan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Siswono Yudohusodo pernah mengatakan, pada waktu ini Indonesia merupakan negara pengimpor pangan yang amat besar. Di tahun 2000 saja, impor Indonesia atas delapan komoditas pangan yaitu beras, gandum, jagung, biji dan bungkil kedelai, kacang tanah, gula pasir dan bawang putih, mencapai nilai Rp 16,62 triliun. Jumlah yang fantastis

Dalam kondisi seperti itu ada tekanan pasar pangan global yang lebih murah dan berkualitas baik, yang suka atau tidak, akan mengancam kelangsungan produksi pangan nasional. Apalagi, ke depan, tidak bisa negara seenaknya memasang hambatan impor meskipun tujuannya melindungi petani dalam negeri. Petani (terutama petani miskin) menjadi salah satu pihak yang sangat dirugikan dengan keberadaan impor komoditi pangan.

Ada banyak pendapat untuk menjawab kenapa Indonesia masih mengandalkan impor untuk urusan pangan, seperti kurangnya jumlah produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan nasional, banyak petani yang gagal panen akibat bencana, kualitas produk lokal yang kurang baik, preferensi yang lebih dari masyarakat terhadap produk impor, dan lain sebagainya. Tetapi sekali lagi, keadaan dan alasan semacam ini sangat ironi jika terjadi di Indonesia, negeri di mana kata orang tongkat kayu dan batu jadi tanaman (ingat Koes Plus). Sangat tidak masuk akal jika kita mengkambinghitamkan alam/keadaan geografis Indonesia sebagai penyebab utama krisis ini karena akan sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara di Afrika, misalnya Kenya, Ethiopia, dsb.

Justru suatu pendapat yang lebih masuk akal bahwa kondisi ini berawal dari pemerintah yang kurang tepat (jika tidak mau dikatakan “salah”) terhadap pertanian Indonesia dan bukan karena alasan-alasan yang bersifat teknis; misalnya kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah tidak sepenuhnya berpihak pada petani sehingga tidak ada gairah petani untuk meningkatkan produksi, dihapuskannya monopoli hak impor yng dimiliki Bulog sehingga produk pangan impor semakin banyak masuk di pasar domestik, termasuk tidak adanya sinkronisasi pendapat antara Departemen Pertanian dengan Bulog, Departemen Perdagangan dan Kementerian Perekonomian, dll. Bahkan kemungkinan yang lebih mengerikan lagi jika hal ini telah menjadi skenario dalam liberalisasi (perdagangan) pangan yang dimotori oleh WTO dan negara-negara lain di belakangnya.

Sesungguhnya masih ada banyak solusi / jalan keluar agar kita dapat secara perlahan merangkak keluar dari ketergantungan impor dan menuju pada kemandirian pangan, antara lain seperti peningkatan kualitas sistem pertanian dengan cara intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi; pengembangan kualitas petani dan produk pertanian melalui penyuluhan dan riset; penjaminan pemerintah terhadap harga produk pertanian lokal; meniru sistem yang ada di luar negeri yang terbukti sukses; atau bahkan mempelajari kembali proses swasembada pangan di era Soeharto. Tetapi semua solusi tersebut tidak akan berjalan dengan baik jika tidak diawali dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang benar-benar diniatkan untuk menuju kebangkitan ketahanan pangan Indonesia.

Pada tahun ini, BEM KM UGM akan concern mengkaji berbagai permasalahan dan kebijakan pemerintah yang terkait dengan pertanian dan pangan Indonesia. Harapannya adalah agar dapat terumuskan usulan-usulan solusi yang dapat membawa keluar bangsa ini dari permasalahan tersebut. Pengkajian ini juga ditujukan untuk membuktikan bahwa tidak sewajarnya Indonesia mengandalkan impor untuk urusan pangan karena Indonesia merupakan “potongan tanah surga yang terlempar ke bumi”.

Saat ini, kita secara pribadi (yang tinggal di Pulau Jawa, Jogjakarta, lebih sempit lagi sebagai mahasiswa UGM) belum merasakan betul dampak buruk dari krisis pangan ini karena masing-masing dari kita masih merasa mampu membeli berporsi-porsi makanan, tapi bagaimana dengan saudara kita yang tidak seberuntung diri kita.......... (ingat kasus penjual tahu yang akhirnya bunuh diri setelah harga kedelai melambung, alasannya cukup membuat hati miris....dia sudah merasa tidak sanggup memenuhi kebutuhan keluarganya)

Tidak ada komentar: