Rabu, 24 September 2008

REGENERASI HAKIM AGUNG, APAKAH SOLUSI PEMBERANTASAN KORUPSI???

Oleh

Laras Susanti

Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Mahkamah Agung (MA) tahun ini mengalami pergantian sebanyak 14 hakim agung juga termasuk Ketua MA Bagir Manan yang perpanjangan masa pensiunnya telah habis. Proses pendaftaran hakim agung oleh Komisi Yudisial(KY) mulai tanggal 25 Februari 2008 mulai dibuka. KY membagi proses seleksi menjadi dua tahap yakni seleksi tahap pertama yang dilaksanakan bulan Februari dan berakhir Juni untuk memilih enam hakim agung dan seleksi tahap kedua dimulai Juli dan berakhir Desember utuk memilih delapan hakim agung

Berdasarkan Pasal 24B ayat (1) setelah perubahan ketiga UUD 1945 Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan manegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kini setelah dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.005/PUU-IV/2006 yang melucuti kewenangan KY kini praktis wewenang KY hanyalah melakukan seleksi hakim agung. Walaupun kewenangan KY atas perilaku hakim telah dicabut, setidaknya dengan kewenangan untuk merekrut hakim hal ini dapat mengurangi intervensi lembaga eksekutif dan legislatif pada lembaga yudikatif.

Perekrutan hakim agung merupakan permasalahan yang sangat penting bagi terciptanya suatu lembaga peradilan yang bersih dan bebas dari korupsi karena sudah menjadi rahasia umum bahwa lembaga peradilan di Indonesia identik dengan praktek korupsi dan mafia peradilan. Oleh karena itulah masyarakat menilai proses perekrutan yang dilakukan oleh sebuah lembaga yang independent diperlukan.Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa korupsi berkaitan erat dengan moral seseorang untuk itulah KY diharapkan dapat menyeleksi hakim-hakim yang memenuhi kriteria dalam Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 yaitu memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela,adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum.

Hakim yang memiliki kriteria tersebut tidak akan hadir dalam suatu sistem perekrutan yang buruk. Tidak salah jika anggapan bahwa good judges are not born but made, hal ini dapat tercapai apabila system rekuitmen, seleksi, pelatihan hakim tersedia secara memadai. (Ahsin Thohari, “Komisi Yudisial dan Reformasi peradilan”).

Tentu saja bukan hal yang mudah bagi KY untuk mencari hakim agung yang sesuai dengan kriteria yang telah disebutkan karena bahkan pada hari pertama pendaftran belum ada orang yang mendaftarkan diri untuk menjadi hakim agung. Begitu banyaknya kontroversi tentang MA menjadi pemicu sepinya peminat disamping itu kriteria dan prosedur sulit untuk dipenuhi, sebagai contoh persyaratan usia. Dan menjadi hal yang berat pula bagi KY karena harus menyediakan tiga kali jumlah calon hakim agung dari jumlah yang dibutuhkan. Dengan sepinya peminat dikhawatirkan KY lantas hanya berusaha utuk memenuhi target jumlah calon hakim saja. Hal ini tentu dapat berakibat calon hakim yang lolos seleksi untuk diajukan ke DPR tidak memenuhi krietria yang seharusnya. Proses perekrutan hakim agung oleh KY tentu saja harus didukung oleh DPR dengan memilih hakim-hakim yang sesuai dengan kriteria yang telah diamanatkan oleh undang-undang. Hal yang paling tidak diinginkan terjadi adalah ketika perekrutan hakim agung yang telah dilakukan KY hanya untuk memenuhi persyaratan pengajuan yaitu tiga kali jumlah hakim yang diperlukan yang berarti bahwa calon yang diajukan tidak sepenuhnya memenuhi kriteria dan DPR justru memilih hakim yang meguntungkan bagi mereka maka reformasi peradilan yang selama ini kita harapkan tidak akan pernah tercapai. Inilah titik tolak KY sebagai lembaga yang berwenang menyeleksi hakim agung untuk menunjukkan eksistensi dan kapabilitasnya untuk menyaring hakim-hakim agung yang sesuai dengan kriteria yang diamanatkan oleh undang-undang. KY juga menjadi salah satu ujung tombak dalam pemberantasan korupsi dan mafia peradilan di negeri ini karena dari hasil seleksi KY, calon-calon hakim agung yang menjadi benteng terakhir keadilan bagi rakyat sebelum calon-calon tersebut diajukan ke DPR. Sinergisitas antara KY dan DPR untuk memilih hakim-hakim agung yang profesional, bersih dari korupsi dan mafia peradilan.

Tidak ada komentar: