Rabu, 24 September 2008

Rasionalisasi Elpiji

Kebijakan pemerintah menaikkan harga gas elpiji secara bertahap hingga mendekati harga pasar dunia, yang mencapai Rp. 12.000/kg, menjadi pro kontra pada setiap lapisan masyarakat. Sebagai awalan, pemerintah menaikkan harga gas elpiji 12kg sebesar 9, 5%, dari Rp. 5.250/kg menjadi Rp. 5.750/kg. Sedangkan untuk gas elpiji 50kg dinaikkan dari Rp. 6.878/kg menjadi 7.255/kg. Pertamina menyatakan akan menaikkan harga elpiji kemasan 12kg secara bertahap sebesar Rp.500/bulan. Kenaikkan ini berdampak langsung pada seluruh masyarakat. Kenaikkan harga tidak bisa dielakkan lagi. Inflasi pun kembali melambung, dinama Inflasi tahun berjalan(Januari-Agustus) sudah mencapai level 9,2%. Angka yang sangat mengkhawatirkan, mengingat bulan september-oktober terdapat momentum bulan Ramadhan dan lebaran, dimana kenaikkan harga adalah kepastian saat 2 momentum tersebut berlangsung

Kebijakan pertamina menaikkan elpiji dinilai aneh oleh sebagian masyarakat, karena dinaikkan bertepatan dengan momentum bulan puasa. Ditakutkan, kenaikkan elpiji akan “memperumit” kondisi pasar, yang terjadi kenaikkan harga karena memasuki bulan puasa.

Jika kita melihat dari logika ekonomi, maka Inflasi terjadi karena terdapat scarcity(kelangkaan) dalam pasar. Kelangkaan ini bisa disebabkan oleh 2 hal, pertama Cost push, kedua Demand Pull. Kedua hal tersebut merupakan penyebab mendasar dari Inflasi. Cost push Inflation adalah kenaikkan harga yang disebabkan oleh semakin besarnya tekanan biaya, hal ini biasa terjadi apabila ada kenaikkan suku bunga perbankan, kenaikkan pajak, ataupun inefisiensi produksi. Demand pull Inflation adalah kenaikkan harga yang disebabkan oleh besarnya permintaan dalam masyarakat. Untuk kasus kenaikkan elpiji, saya rasa kedua faktor tersebut terjadi secara bersamaan. Saat ini terjadi over demand terhadap elpiji. Hal ini terjadi akibat dilakukannya program konversi minyak tanah ke elpiji yang dilakukan pemerintahan setahun yang lalu. Dengan adanya program konversi, pola konsumsi masyarakat beralih dari minyak tanah ke gas. Sehingga sangat wajar apabila permintaan terhadap elpiji(khususnya elpiji 3 kg). Cost push inflation sangat mungkin terjadi, mengingat masih inefisiennya kinerja dari pertamina, baik dalam pengelolaan usaha di hulu maupun hilir.

Memandang permasalahan inflasi, maka kita dapat melihat dari 3 aspek utama, yaitu, produksi, konsumsi, dan distribusi. Seperti yang sudah diuraikan diatas,pertamina memiliki masalah mendasar dalam proses produksi. Inefisiensi dalam proses prosuksi pertamina, seharusnya dapat diperbaiki. Sehingga pertamina dapat memproduksi dengan biaya yang minim. Karena perlu dingat, pertamina sebagai BUMN yang mengampu fungsi PSO(Public Service Obligation) seharusnya dapat fokus pada cost produksi yang rendah.

Konsumsi masyarakat terhadap elpiji memang mencapai level yang cukup memuaskan, hal ini dapat menjadi sinyal positif bagi program konversi energi. Tapi sangat disayangkan apabila demand yang besar ini tidak diikuti denga supply yang besar pula.

Permasalahan terakhir yang patut dikritisi adalah proses distibusi. Ketika terjadi kenaikkan harga elpiji 12kg beberapa hari yang lalu, harga-harga elpiji diseluruh Indonesia turut bergejolak. Tapi anehnya, walaupun pertamina menetapkan standart harga, tapi tetap saja harga jual tiap daerah berbeda. Harga jual eceran elpiji 12 kg antara Rp. 75.000 sampai Rp. 200.000. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa terdapat daerah-daerah yang mengalami kelangkaan elpiji. Ini merupakan indikasi tidak meratanya distribusi elpiji yang dilakukan pertamina. Banyak toko yang kehabisan stok tabung gas, dan ini berdampak pada tidak terpenuhinya kebutuhan konsumen. Selain itu, gap harga yang terlalu besar menimbulkan indikasi adanya penimbunan elpiji di daerah-daerah tertentu. Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk mulai melakukan pemberantasan terhadap spekulator yang melakukan penimbunan tersebut.

Poltical will dari pemerintah untuk menstabilkan harga elpiji mutlak diperlukan. Konsumen butuh kepastian atas harga-harga. Kita seharusnya mencontoh kebijakan yang dilakukan pemerintah china dalam membangun imperiumnya, yaitu menstabilkan inflasi, sehingga iklim usaha dapat terjamin kelangsungannya. Ketidakstabilan harga sepertin ini seharusnya dapat segera diselesaikan, jangan samapi rakyat miskin terus menjadi korban atas kesalahan kebijakan pemerintah.

Tidak ada komentar: