Rabu, 24 September 2008

PEMERINTAH LUPA AKAN HUTAN

Baru-baru ini, pemerintah mengeluarkan PP No. 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan. Semenjak keluarnya PP tersebut menimbulkan pro-kontra. Pemerintah beranggapan dengan dibuatnya PP tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada perusahaan pertambangan, yang sudah mendirikan usaha tambang di kawasan hutan lindung. Hal itu dikarenakan, agar perusahaan tersebut dapat menjalankan usaha sesuai kontrak, namun wajib memberi negara kompensasi dana. Penggunaan dari kompensasi dana tersebut, dipergunakan untuk pelestarian hutan.

Di sisi lain, banyak pihak yang tidak setuju atas adanya PP tersebut. Banyak yang beranggapan, PP ini membuka peluang bagi kerusakan hutan yang berdampak ekologis bagi banyak orang. Tanpa tambahan membuka lahan hutan pun, bencana ekologis dinilai sudah sangat memprihatinkan. Dapat dinilai juga pada besarnya kompensasi dana tersebut dianggap terlalu murah. Alasannya, dana kompensasi dari perusahaan tambang tersebut besarnya Rp 1,2 juta hingga Rp 3 juta per hektare tidak akan cukup membiayai untuk pelestarian hutan, apa lagi membuat hutan baru.

Adanya PP tersebut dapat membahayakan daerah-daerah rawan bencana yang disekitar hutan. Bayangkan saja, pemerintah pusat mendapatkan dana atas kompensasi penggunaan hutan, namun daerah yang berada di sekitar hutan mengalami kerusakan lingkungan atau lebih parahnya mengalami bencana alam. Hal ini menunjukkan kurangnya koordinasi antara Pemerintah pusat dengan Pemerintah daerah.

Atas keadaan seperti ini, beberapa LSM dan lapisan masyarakat mangadakan aksi untuk menyelamatkan hutan. Mereka menerima donasi, dimana dana donasi tersebut digunakan untuk menyewa hutan guna menyelamatkan hutan. KOMPAS menyebutkan bahwa, menurut Walhi, PP tersebut berpotensi merusak lebih dari 900 ribu hektare hutan lindung Indonesia yang dilakukan oleh perusahaan yang ditunjuk Pemerintah. Walhi juga mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat yang masih peduli terhadap hutan Indonesia untuk ikut memberikan sumbangan untuk melawan PP ini.

Permainan Politik Kebijakan Pangan

Sampai hari ini kita masih dibingungkan oleh masalah-masalah pangan. Harga sembako yang tidak stabil, kualitas hasil produksi yang menurun, kualitas hidup petani yang mengenaskan, dll. Kemudian apa yang menyebabkan semua itu? Tentunya ini berhubungan dengan globalisasi perdagangan. Di dalam sistem globalisasi terdapat agen-agen yang mengatur jalannya pasar bebas yaitu, WTO, IMF dan World Bank serta masih banyak organisasi lainnya yang belum diketahui. Dalam hubungannya dengan kebijakan perdagangan, Bank Dunia serta IMF dapat memaksa negara-negara yang sedang berkembang untuk mengambil dan menjalankan kebijakan neoliberalisme dan pasar bebas dengan istilah samaran “Penyesuaian Struktural” (structural adjustment). Di dalam WTO, ada beberapa persetujuan yang telah atau sedang dibahas yang bersangkutan dengan sektor pertanian, yaitu Agreement on Agriculture – AOA, Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights – TRIPs dan Sanitary and Phytosanity Measures – SPS.

Dampak pasar bebas yang paling besar terhadap sektor pertanian adalah paksaan terhadap negara yang berkembang, untuk mementingkan peningkatan produksi pertanian khusus untuk tujuan ekspor. Perusahaan pertanian (agribisinis) yang besarlah yang mendapat keuntungan dari pemaksaan ini, dan yang dirugikan adalah para petani. Pasar bebas mengakibatkan semakin besarnya jumlah orang yang kelaparan, kerusakan lingkungan hidup, hancurnya keanekaragaman hayati, dan peminggiran hak-hak petani miskin atas tanah, bibit dan pengetahuan adat/tradisional. Tetapi, Para konglomerat sektor pertanian diberikan kemudahan di seluruh negara, serta diberi kesempatan untuk menjual kelebihan produk mereka di suatu negara ke negara lain dengan harga dibawah ongkos produksi. Tentu saja petani lokal tidak bisa bersaing dengan kondisi-kondisi seperti ini. Semakin hari semakin banyak petani di seluruh dunia ini kehilangan tanah dan pekerjaan. Sebagian besar dipaksa pindah ke kota untuk mencari kerja. Teknologi-teknologi modern – pupuk kimia, racun pestisida, bibit yang direkayasa dll – telah memojokkan kekayaan lingkungan hidup, ketrampilan dan jati diri banyak petani.(FSPI: Federasi Serikat Petani Indonesia)

Sistem neoliberalisme di atas tersebut menjadi sebuah jawaban mengapa perkembangan Indonesia selama ini menjadi tersendat-sendat di segala bidang. Karena Indonesia sudah masuk ke dalam sistem Internasional tersebut. Entah masuk secara sukarela atau terpaksa. Kebijakan impor beras dan kebijakan yang sifatnya merugikan lainnya adalah sekelumit bunga api dari bara api di level internasional.

KORUPSI BUKAN BUDAYA INDONESIA

Korupsi sudah menjadi hal yang tidak asing lagi di telinga kita. Belakangan ini seluruh media, baik cetak maupun elektronik memberitakan tentang korupsi. Namun, jika kita mencermati lebih dalam, istilah korupsi kini hanya diidentikkan sebagai penggelapan uang. Korupsi sebenarnya punya makna yang lebih luas, yakni buruk, rusak suka menerima uang sogok, menyelewengkan uang atau arang perusahaan atakah barang milik negara, menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Bahkan, The Lexicon Webster Dictionary menyebutkan bahwa korupsi adalah kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Jenis-jenis korupsi bisa bermacam-macam, korupsi uang, kekuasaan, bahkan waktu.

Indonesia sejatinya tidak pernah memiliki budaya korupsi. Paradigma bahwa korupsi adalah budaya bangsa, semestinya segera direduksi. Hal ini mengakibatkan masyarakat Indonesia akhirnya akan menjadi permisif pada korupsi. Masyarakat mulai tidak peduli dan pada akhirnya melupakan dan memaafkan. Hal inilah yang menjadikan korupsi makin sulit diberantas.

Negeri ini perlu kembali diingatkan bahwa Indonesia mencatatkan dirinya secara spektakuler sebagai salah satu negara terkorup di dunia, dengan jumlah rakyat miskin yang terus bertambah setiap tahun. Negara terkorup dengan koruptor yang paling rentan dengan kesehatan dan ketika diberi izin mereka malah kabur. Penegakan hukum masih menjadi wacana, komitmen pemberantasan korupsi yang tebang pilih,serta mafia peradilan yang menjadi kawan sejati koruptor menjadi faktor penghambat pemberantasan korupsi di negeri ini.

Korupsi bukan hanya sekedar pelanggaran hukum, melainkan juga krisis moral yang harus ditinjau dari berbagai disiplin ilmu. Kesadaran masyarakat bahwa korupsi sama sekali bukan budaya bangsa ini harus terus ditingkatkan, karena korupsi mendatangkan kesengsaraan.

Mengapa banyak sarjana yang menjadi pengganguran ??

Pemerintah akhir-akhir ini sering mengangkat kembali wacana kewirausahaan. Tapi pemerintah tidak menyadari bahwa bahwa kebijakan pendidikan pada tingkat mendasar dan menengah telah banyak mematikan kreatifitas dan menghambat daya cipta siswa maupun guru.

Menurut Andy Hargreaves, ”kita hidup dalam ekonomi pengetahuan dan sebuah masyarakat berpengetahuan. Ekonomi pengetahuan tumbuh karena adanya kreatifitas dan kemampuan mencipta yang memungkinkan pemecahan masalah secara cerdas. Sekolah dalam masyarakat berpengetahuan harus menciptakan kualitas ini, kalau tidak masyarakat dan bangsa akan ditinggal”.

Hargreaves membidik dua hal yang sering dilupakan oleh dunia pendidikan kita yaitu pertama, ekonomi pengetahuan yang pertama-tama melayani kebaikan individu. Kedua, masyarakat berpengetahuan mengarahkan dirinya demi kebaikan umum. Seharusnya sekola-sekolah menanamkam keduanya kepada siswa.

Kurikulum pendidikan yang ada di Indonesia, benar-benar membuat siswa tidak kreatif seperti adanya Lembar kerja Siswa (LKS). Pemerintah menginginkan siswa-siswa menjadi kreatif dan daya cipta dengan diadakannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang seharusnya membuka ruang dan kebebasan bagi terciptanya kreatifitas, menumbuhkan kemampuan memecahkan masalah dan menanggapi masalah baru secara cerdas. Tapi kita terlalu terpaku pada Standar kompetensi lulus dan standar isi yang bersifat sentral listrik. Selain itu, berdalih dengan adanya solidaritas komunitas, adanya kebijakan pendidikan kita yang memosisikan guru dan siswa sekedar terampil menjawab soal pilihan ganda.

Banyaknya sarjana yang mengganggur merupakan cerminan pemerintah yang kurang mampu mengatur kebijakan pendidikan dengan baik. Pemerintah harus berani memperbaiki kebijakan pendidikan yang dapat menumbuhkan daya kreatif, inovasi dan cipta.

Pendidikan seharusnya mampu menciptakan lulusan yang kreatif penuh daya cipta, bukan hanya mampu memecahkan masalah tapi kompeten dalam menjawab tantangan zaman dengan lebih kreatif dan adaptif jika mereka di belaki pengamalan tersebut.

Kreatifitas dan inovasi hanya dapat tumbuh dari jiwa yang merdeka yang memilki motivasi internal dalam belajar. Hal ini tidak akan tercipta jika pemerintah masih melaksanakan UN. Kreatifitas dan inovasi dapat tumbuh dari dialog dan pertemuan individu. Selain itu pengetahuan kontekstual akan menjadi modal pertumbuhan kemanusiaan.

Banyaknya sarjana yang menganggur akan tetap menjadi keniscayaan jika kebijakan pemerintah masih tuli dan buta terhadap kritikan, masukan dan realita masyarakat. Kebijakan adannya UN yang berlaku dari SD sampai SLTA hanya akan menyiapkan para mahasiswa yang mampu menjawab soal-soal, tetapi tidak dapat memecahkan persoalan hidup. Tidak heran jika banyak dari mereka yang menganggur.

Sumber : OPINI Kompas, Jum'at 15 februari 2008 “Penggangguran Intelektual” oleh Doni Koesama

Tidak ada komentar: