Rabu, 24 September 2008

Problematika Energi Nasional, Permasalahan dalam Menyongsong Kemandirian Energi

Memandang berbagai problemm kehidupan Indonesia saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa pokok perhatian yang mendpat sorotan paling luas adalah sektor energi. Ada beberapa alasan yang cukup mendasar, hingga permasalahan energi menjadiperhatian luas seluruh warga Indonesia, pertama, energi, dalam berbagai macam bentuknya, minyak, gas, batu bara, listrik, semuanya adalah unsur primer dalam menggerakkan kehidupan manusia modern baik secara produktif maupun konsumtif. Kedua, krisis energi yang sekarang melanda Indonesia akhir-akhir ini secara vulgar telah mengancam kehidupan ekonomi masyarakt luas yang secara praktis mengganggu produktivitas serta aktivitas harian yang menyandarkan diri kepada energi sebagai poros dasarnya. Ketiga, bentuk-bentuk energi seperti BBM,gas dan listrik, memegang fungsi ganda sebagai input antara sekaligus permintaan akhir, yang mengandung pengertian, memiliki implikasi langsung kepada sektor industri sekaligus masyarakat luas. Industri, baik skala kecil, menengah maupun besar akan memasukkan permintaan terhadap sumber-sumber energi sebagai bagian dari variabel biaya tetap, yang akan selalu digunakan, karena tanpanya, maka proses produksi bisa terhambat, atau malah sama sekali tidak berjalan. Masyarakat luas, sebaliknya meski tidak secara absolut tergantung pada sumber-sumber energi tersebut, mau tidak mau harus menggunakan sumber energi untuk menjalankan akitivitas produktifnya (seperti pergi bekerja, sekolah, kuliah, dsb.), juga untuk memenuhi kebutuhan konsumtif.

Daripada itu, masyarakat seakan-akan selal disuguhkan pemandangan yang nyaris tidak pernah berubah dari tahun ke tahun, harga BBM selalu naik dengan berbagai alasan, yang disusul oleh berbagai efek domino yang bersifat jangka panjang, dan kali ini tampaknya akan permanen. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak tinggi, sementara konsumsi masyarakat diharuskan (oleh keadaan) dalam tingkatan yang cukup besar pula (akibat tahun ajaran baru, dll.). Tetapi pada tahun 2008, krisis energi benar-benar menarik efek domino yang sangat kompleks dan menambah penderitaan rakyat. Harga gas elpiji 12 kilogram naik 23 persen dari 51 ribu rupiah menjadi 63 ribu rupiah per tanggal 1 Juli 2008, dengan alasan bahwa disparitas harga domestik dengan pasar internasional telah mencapai 173 persen. Padahal, pemerintah melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla, dengan gencar semenjak tahun lalu mensosialisasikan program konversi minyak tanah ke gas elpiji, dengan membagi-bagi secara gratis kompor beserta gas elpiji 3 kilogram kepada masyarakat, dengan target, tahun 2009, saat program konversi selesai, subsidi negara untuk minyak tanah tinggal 10 triliun rupiah. Inkonsistensi kebijakan yang cenderung setengah-setengah ini terbaca pula dalam berbagai masalah energi lainnya. Tanggal 23 Mei 2008, pemerintah menaikkan harga BBM, rata-rata sebesar 28,7%, seperti premium dari 4.500 rupiah menjadi 6000 rupiah, karena harga minyak dunia yang telah menyentuh 120 US$ perbarelnya. Padahal indikasi tentang naikknya harga minya dunia telah tercium sejak akhir tahun lalu, dan pemerintah berjanji akan mengatasi masalah naiknya harga minyak dunia dengan berbagai paket kebijakan seperti penerapan smart card, yang akan membatasi kendaraan pribadi untuk mengonsumsi BBM bersubsidi. Pada akhirnya kebijakan yang dipilih pemerintah sangat konvensional, menaikkan harga BBM, sementara langkan yang lebih penting, terutama dalam mengantisipasi harga minya dunia yang terus melonjak tajam, yaitu dengan mengurangi konsumsi sekaligus menaikkan lifting minyak Indonesia , justru tidak berjalan maksimal. Sekarang, rencana penerapan smart card, malah sudah kehilangan gaungnya, berganti dengan huru-hara dari seorang lelaki yang mengaku bisa mengubah air menjadi minyak, dengan teknologi yang katanya dibimbing dari kitab suci, yang kemudian akrab disebut Blue Energy, dengan skeptisisme besar dari masyarakat terhadap proyek ini. Sementara kebijakan yang lebih realisitis, serta lebih mudah diimplementasikan, yaitu penerapan pajak progresif bagi kendaraan pribadi, akhirnya dapat disetujui setelah dua tahun lebih mondok di gedung parlemen di Senayan, kebijakan yang lebih konkret seperti ini, laiyak untuk diproritaskan ketimbang mengharap pada teknologi yang tidak jelas asal muasalnya. Sedangkan masalah energi terakhir, yang terutama sedang hangat dibicarakan, adalah krisis listrik, yang ditandai dengan seringnya dilakukan pemadaman oleh PLN, sebagai satu-satunya perusahaan yang mengurusi masalah listrik nasional. Argumen yang diajukan lagi-lagi klasik, apologia yang diulang-ulang dari jaman Orde Baru hingga sekarang, kendala cuaca buruk hingga pasokan bahan bakar terlambat, pembangkit sedang dalam perbaikan, adalah alasan-alasan yang selalu kita dengar kalau pemadaman marak terjadi. Tapi,fakta menarik, adalah yang menjadi pokok permasalahan kurangnya pasokan listrik dari PLN, yang ditandai dengan reserved margin berada dibawah ambang batas aman, yaitu 30-40%. Dengan daya cadangan yang sangat rendah itu, maka kebijakan pemadaman akan terus berlangsung, minimal sampai pembangkit baru di Labuan, Banten dan Indramayu, Jawa Barat dapat beroperasi tahun 2009. Masalah ini diperparah dengan harga batu bara, sebagai bahan bakar pembangkit yang paling diandalkan setelah harga minya dunia melonjak tajam, ikut-ikutan menanjak tajam. Harga patokan yang dipatok PLN sebesar 80US$ per ton, sudah sama sekali tidak mendapat respon dari para supplyer yang mengajukan harga minimal 100US$ per tonnya. Harga yang tinggi di pasaran internasional, menjadi ironis tatkala perusahaan-perusahaan seperti Bumi Resources, Medco, Aneka Tambang, Adaro, Indika Energy, menangguk untung gila-gilaan, akibat tingginya harga komoditas arang hitam tersebut, sementara industri dipaksa untuk mengalihkan proses produksinya, dan rakyat harus gigit jari karena pemadaman listrik terus saja terjadi. Kondisi di Indonesia yang begitu suram akibat krisis energi, seperti pepatah “hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri”, tatkala negara-negara lain yang juga memiliki persediaan sumber daya alam yangberbasis energi mampu menangguk untung besar dengan tingginya harga komoditas ini, sehingga mampu menyejahterakan rakyatnya dan membebaskan dari kemiskinan, Indonesia yang juga sangat kaya seperti para pecandu narkoba, masih energetis, produktif fisiknya, tapi sudah tidak mampu lagi untuk memberikan manfaat baik untuk dirinya, maupun kepada sekitarnya. Masalahnya, sampai kapan rakyat bisa bersabar menghadapi kinerja dari sektor energi yang pas-pasan, sementara alasannya selalu seolah-olah aksidental, tidak sengaja, tidak dapat diintervensi, sehingga rakyat hanya disuruh selalu bersabar, dan diimbau untuk bijak dengan berhemat? Sementara, jumlah warga miskin justru semakin meningkat (meski kata BPS turun), inflasi melejit, pengangguran bertambah banyak, dan tanda-tanda munculnya resesi mulai dapat dilihat dari jauh, sementara Pemilu 2009 tengah menjelang.

Karena itu, muara dari berbagai masalah energi yang menimpa Indonesia saat ini dapat dianalisis sebagai akumulasi dari rendahnya upaya preventif pemerintah menghadapi resiko resesi ekonomi global. Ditengah situasi yang serba penuh turbulensi dan kekhawatiran, gejala kegagapan pemerintah menghadapi berbagai situasi yang serba tidak pasti haruslah dijadikan pengalaman berharga agar tidak sampai terulang lagi di masa mendatang. Saat harga minyak dunia telah melonjak tinggi, harusnya kita langsung tersadar bahwa pembangkit listrik yang menggunakan solar sebagai sumber tenaga lmendapat perhatian khusus dengan menempatkannya sebagai pembangkit dengan prioritas yang rendah dalam porsi sumber listrik primer Republik ini, sementara yang berbahan bakar gas alam, batu bara, dan lainnnya, mendapatkan kepastian dengan menjamin pasokannya serta harga yang sesuai dengan kemampuan cashflow BUMN yang terkait, karena masalah urgen yang dihadapi BUMN seperti PLN saat ini adalah kekurangannya dalam aliran cash flow untuk dapat membeli berbagai komoditas sumber energi yang harganya melonjak tajam. Dalam perspektif lebih jauh, perlu dipetakan masalah dan solusinya, menjadi solusi jangka pendek dan solusi jangka panjang. Yang jangka pendek perlu lebih ditekankan pada upaya-upaya kuratif temporal untuk mencegah situasi lebih buruk terjadi dengan keadaan yang serba mengkhawatirkan kalangan industri maupun rakyat luas akibat seringnya terjadi pemadaman. Opsi untuk menaikkan harga jual listrik adalah salahsatu pilihan yang dapat diajukan, mengingat biaya produksi yang mencapai 1.303,87 rupiah, sementara harga jual berkisar 630 rupiah per KwH, padahal jika menggunakan genset sendiri, biaya per KwH mencapai 3000 rupiah, sehingga wajar saja kalau kalangan industri mendadak beralih memakai listrik PLN karena margin yang demikian besar antara biaya produksi yang telah melonjak 41% dibanding tahun lalu, sementara harga jual tidak mengalami kenaikan. Pada awal tahun, sebenarnya telah terlontar wacana untuk mengadakan skema insentif dan disinsentif oleh PLN untuk membudayakan perilaku hemat listrik dalam berbagai lapisan masyarakat, khususnya rumah tangga, yang pada tahun 2007 konsumsinya tumbuh 7,3% sementara sektor industri hanya menikmati pertumbuhan 4,7%, hingga berakibat konsumsi sektor rumah tangga mencapai 46.950 GwH, untuk pertama kalinya dalam 3 tahun terakhir melampaui konsumsi sektor industri yang hanya mengonsumsi 45.432 GwH. Menjadi ironis kala kita mendengar berita seringnya terjadi pemadaman justru terjadi didaerah-daerah pembangkit listrik berada, sementara pusat konsumsi di Pulau Jawa relatif tidak begitu sering mengalami pemadaman tersebut. Sehingga tidak heran SKB 5 menteri yang baru saja diterbitkan (lagi-lagi), terlihat sebagai upaya pemerintah menginjak satu kaki para pengusaha agar dipaksa berhemat, sementara untuk menerapkan kebijakan serupa bagi sektor kelompok rumahtangga, masih terlihat gamang, sementara banyak daerah yang masih mengalami pemadaman, hingga tampaknya pemerintah perlu memberi argumen yang sangat kuat untuk meyakinkan rakyat bahwa kita sedang mengalami krisis energi yang membahayakan kondisi bangsa. Kebijakan menaikkan harga tentu dimaksudkan agar PLN memiliki dana yang cukup untuk menjalankan sektor operasionalnya, serta mencegah terjadinya pemadaman, bukan sebagai ajang mencari margin keuntungan. Untuk solusi jangka panjang, maka pembangunan pembangkit baru adalah jawaban logis yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah serupa terulang dimasa mendatang. Serta, pembangunan pembangkit dengan sumber energi alternatif perlu semakin sering didorong. Alasannya tentu adalah sumber daya yang kita pakai bersifat non-terbarukan, sehingga potensi terjadinya kelangkaan akan sangat mengganggu ketahanan energi. Memberdayakan sumber energi terbarukan, harus menjadi agenda utama negeri di masa mendatang, mengingat besarnya potensi yang dimiliki oleh Indonesia di bidang ini. Memang perlu keseriusan serta itikad bersungguh-sungguh, supaya di masa mendatang skema energi alternatif dapat menjadi cadangan kala sumber energi utama mengalami kenaikan harga ataupun menderita kelangkaan, sehingga masalah tersebut dapat diantisipasi. Sejujurnya, penulis sangat khawatir kalau masalah krisis energi ini terjadi pada komoditas BBM, dimana terjadi gejala kelangkaan dimana di suatu daerah seluruh SPBUnya kosong karena berbagai alasan, entah terlambatnya pasokan ataupun alasan apapun. Dapat dibayangkan para pemilik kendaraan bermotor yang tidak dapat pergi bekerja, bersekolah, berjualan ataupun kuliah, akan naik pitam. Pengemudi kendaraan umum tidak dapat beroperasi mencari penumpang, hingga setoran tidak ada, dan keluarganya tidak bisa makan. Para pedagang gorengan, angkringan atau yang lain tidak bisa berjualan karena tidak ada suplai untuk memproduksi barang konsumsi. Kehidupan masyarakat akan mengalami perlambatan perlahan-lahan sebelum akhirnya mati total. BBM hanya muncul di pasar gelap dengan harga sangat tinggi, yang hanya sanggup dibeli oleh orang-orang kaya. Melihat realitas itu, rakyat mayoritas yang daya belinya lemah, marah dan menyerang mobil-mobil serta rumah orang kaya. Orang kaya tidak tinggal diam, dengan kekuatan uangnya mereka menyewa preman untuk mengatasi kemarahan rakyat banyak. Bentrokan tidak terhindarkan, kerusuhan pun merebak, huru-hara terjadi dimana-mana, keadaan serba mencekam dan penuh ketidakpastian. Jika sudah seperti itu, maka masalah energi bisa bergeser menjadi masalah sosial sekaligus masalah politis yang kompleks dan tendensius. Sementara 2009 menjelang, siapapun yang berhasil mengatasi masalah ini akan mendapat legitimasi publik, dan otoritas untuk mengontrol negara secara mutlak. Jika pemerintahnya sipil yang ikut mengalami penderitaan mungkin tidak masalah, tapi apa jadinya jika kekuatan militer yang berkuasa, yang menegakkan kekuasaan dengan cara-cara menumpahkan darah, haruskah kepahitan masa lalu kita sesap lagi layaknya kina, pil pahit obat malaria? Maka, masalah energi, tidak bisa dipandang sebelah mata, karena kemampuannya untuk bertransformasi menjadi komoditas politik yang renyah dikunyah oleh kepentingan politik sesaat.

Tidak ada komentar: